Sabtu, 20 Agustus 2011

Carilah Lailatul Qadar!!! - Untaian Artikel Ramadhan Bulan Penuh Berkah

Carilah Lailatul Qadar

الْتَمِسُوا لَيْلَةَ الْقَدْرِ...

بسم الله الرحمن الرحيم ,الحمد لله رب العالمين و صلى الله و سلم و بارك على نبينا محمد و آله و صحبه أجمعين, و بعد:
Defenisi Lailatul Qadar:
Sebuah malam dari malam-malam sepuluh terakhir dari bulan Ramadhan, diturunkan di dalamnya takdir-takdir seluruh makhluk ke langit dunia, Allah mengabulkan doa di dalamnya dan ia adalah malam yang telah diturunkan Al Quran yang Agung. Lihat Mu'jam lughat al-Fuqaha, hal: 326.

Tidak diragukan lagi, Lailatul Qadar akan selalu ada sampai hari kiamat:
Ibnu al-Mulaqqin rahimahullah berkata: "Telah bersepakat beberapa ulama yang dianggap pendapatnya akan adanya selalu lailatul qadar sampai akhir masa". Lihat: al-i'lam bi fawa-idi 'umdat al-ahkam, 5/397.
Dalil yang menunjukkan hal ini adalah, sebuah hadits dari Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallahu 'anhu, beliau bercerita: "Pernah Nabi Muhammad shallalahu 'alaihi wasallam keluar rumah untuk memberitahukan kepada kami tentang lailatul qadar, ketika itu dua orang dari kaum muslimin sedang bertengkar, kemudian beliau bersabda: "Tadi aku keluar ingin memberitahukan kepada kalian tentang lailatul qadar tetapi si fulan dan si fulan bertengkar lalu ingatan itu hilang, semoga itu lebih baik bagi kalian, maka carilah lailatul qadar di kesembilan, ketujuh dan kelima". HR Bukhari, no. 2023.
Akhir hadits ini menjelaskan awalnya, bahwa lailatul qadar akan selalu ada sampai hari kiamat.  

Tidak diragukan lagi, Lailatul Qadar di bulan Ramadhan…
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala:

{ شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيَ أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ }
Artinya: "Bulan Ramadhan adalan bulan yang diturunkan di dalamnya al-Quran". QS. al-Baqarah: 185
dan al-Quran diturunkan di bulan Ramadhan, dan Allah Ta'ala berfirman:
{ إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْر }
Artinya: "Sesungguhnya kami telah menurunkan al-Quran pada lailatul qadar". QS. al-Qadar:1.
Jika dikumpulkan dua ayat ini maka akan menjadi sangat jelas bahwa lailatul qadar di bulan Ramadhan dengan yakin tanpa ada keraguan di dalamnya. Lihat: al-i'lam bi fawa-idi 'Umdat al-Ahkam, karya ibnul Mulaqqin, 5/399 dan asy-Syarh al-Mumti', karya Ibnu 'Utsaimin, 6/491.
Dan Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu telah meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
« أَتَاكُمْ رَمَضَانُ شَهْرٌ مُبَارَكٌ فَرَضَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ تُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَتُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ وَتُغَلُّ فِيهِ مَرَدَةُ الشَّيَاطِينِ لِلَّهِ فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حُرِمَ ». وفي لفظ أحمد: ((... تفتح فيه أبواب الجنة)) بدلاً من ((أبواب السماء))
Artinya: "Telah datang kepada kalian Ramadhan bulan yang penuh berkah, Allah Azza wa Jalla telah mewajibkan berpuasa di dalamnya, di dalamnya dibuka pintu-pintu langit, dan ditutup pintu-pintu neraka, dibelenggu para pemimpin setan, di dalamnya Allah memiliki satu malam yang lebh baik dari seribu bulan, barangsiapa yang diharamkan dari kebaikannya maka ia benar-benar telah diharamkan kebaikan apapun". Di dalam riwayat Ahmad: "Di dalamnya dibuka pintu-pintu surga", sebagai ganti lafazh: "pintu-pintu langit". HR. an-Nasai, no. 2108 dan Ahmad, no. 7148 dan dishahikan oleh al-Albani di dalam Shahih Ibnu Majah, 2/456.

Lailatul Qadar di sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan, tanpa ada keraguan…
Hal ini berdasarkan beberapa hadits berikut:
حديث عائشة رضي الله عنها قالت:قال رسول الله - صلى الله عليه وسلم - :(( تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ))،
وفي رواية للبخاري: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يُجَاوِرُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ ، وَيَقُولُ « تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ »
Artinya: "Aisyah radhiyallahu 'anha berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Bersungguh-sungguhlah mencari lailatul qadar di sepuluh terakhir dari bulan Ramadhan", di dalam riwayat Bukhari: "Senantiasa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam beri'tikaf di sepuluh terakhir dari bulan Ramadhan, beliau bersabda: "Bersungguh-sungguh untuk mencari lailatul qadar di sepuluh terakhir bulan Ramadhan". Di dalam riwayat Bukhari: "Carilah…". HR. Bukhari, no. 2020 dan Muslim, no. 1196.

Lailatul Qadar lebih ditekankan adanya di malam-malam ganjil daripada malam genap:
Hal ini berdasarkan beberapa hadits berikut:
1- عن عَائِشَةَ - رضى الله عنها - أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ « تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ »
Artinya: "Aisyah radhiyallahu 'anha berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Bersungguh-sungguhlah mencari lailatul qadar di malam ganjil dari sepuluh terakhir dari bulan Ramadhan". HR. Bukhari dan Muslim
2- حديث أبي سعيد الخدري - رضي الله عنه - ، أن النبي - صلى الله عليه وسلم - قال:: ((إِنِّى أُرِيتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ ، ثُمَّ أُنْسِيتُهَا أَوْ نُسِّيتُهَا ، فَالْتَمِسُوهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ فِى الْوَتْرِ... )) .
Artinya: "Abu Sa'id al-Khudry radhiyallahu 'anhu bercerita: "Bahwa Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya aku diperlihatkan lailatul qadar lalu dilupakan dariku, maka carilah di malam ganjil dari sepuluh terakhir". HR. Bukhari, no. 2016 dan Muslim, no. 1167.

Sebagian tanda-tanda Lailatul Qadar:
Di pagi harinya, matahari terbit tidak memancarkan cahaya yang menyengat, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
أَنَّهَا تَطْلُعُ يَوْمَئِذٍ لاَ شُعَاعَ لَهَا
Artinya: "Matahari terbit pada harinya tidak mempunyai sinar". Hadits riwayat Muslim, no. 1762.
Dalam Lafazh lain:
تُصْبِحُ الشَّمْسُ صَبِيحَةَ تِلْكَ اللَّيْلَةِ مِثْلَ الطَّسْتِ لَيْسَ لَهَا شُعَاعٌ حَتَّى تَرْتَفِعَ.
Artinya: "Matahari terbit pagi hari dari malam qadar seperti baskom, tidak mempunyai sinar sampai meninggi". HR. Abu Daud, no. 1378 dan dishahihkan oleh al-Albani di dalam Shahih Abi Daud, 1/380.

Malam yang cerah, tidak panas tidak juga dingin, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
إني كنت أريت ليلة القدر ثم نسيتها و هي في العشر الأواخر من ليتلها و هي لية طلقة بلجة لا حارة و لا باردة كأن فيها قمرا يفضح كواكبها لا يخرج شيطانها حتى يضيء فجرها
Artinya: "Sesungguhnya aku diperlihatkan lalilatul Qadar kemudian dilupakan dariku dan ia ada di sepuluh terakhir (dari bulan Ramadhan) dan ia adalah malam yang baik dan cerah, tidak panas dan tidak pula dingin, seakan-akan di dalamnya ada bulan purnama yang menerangi bintang-bintang, syetan-syetan tidak keluar sampai terbit fajar". HR. Ibnu Khuzaimah, 3/330 dan dishahihkan oleh al-Albani di dalam koreksian beliau akan shahih Ibnu Khuzaimah, 3/330.
ليلة طلقة لا حارة و لا باردة تصبح الشمس يومها حمراء ضعيفة
Artinya: "Lailatul Qadar tidak panas tidak juga dingin matahari pagi harinya bersinar lemah kemerah-merahan". HR. Ibnu Khuzaimah, 3/332 dan dishahihkan oleh al-Albani di dalam Shahih al-Jami', no. 5351.

Tidak ada bintang jatuh, bulan pada malam itu seperti bulan purnama, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ أَمَارَةَ لَيْلَةِ الْقَدْرِ أَنَّهَا صَافِيَةٌ بَلْجَةٌ كَأَنَّ فِيهَا قَمَرًا سَاطِعًا سَاكِنَةٌ سَاجِيَةٌ لَا بَرْدَ فِيهَا وَلَا حَرَّ وَلَا يَحِلُّ لِكَوْكَبٍ أَنْ يُرْمَى بِهِ فِيهَا حَتَّى تُصْبِحَ وَإِنَّ أَمَارَتَهَا أَنَّ الشَّمْسَ صَبِيحَتَهَا تَخْرُجُ مُسْتَوِيَةً لَيْسَ لَهَا شُعَاعٌ مِثْلَ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ وَلَا يَحِلُّ لِلشَّيْطَانِ أَنْ يَخْرُجَ مَعَهَا يَوْمَئِذٍ
Artinya: "Sesungguhnya tanda lailatul qadar bahwasanya adalah malam yang bersih cerah, seakan-akan di dalamnya bulan terang tenang, tidak panas tidak juga dingin, dan tidak boleh bintang dijatuhkan di dalamnya sampai pagi, dan sesungguhnya tandanya adalah matahari pagi harinya terbit sejajar tidak mempunyai sinar seperti bulan pada malam purnama dan tidak halal bagi syetan untuk keluar bersamaan dengannya pada malam itu". HR. Ahmad, no. 22765.

Hendaknya memperbanyak membaca doa اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّى  pada Lailatul Qadar:
Hal ini berdasarkan sebuah riwayat dari Aisyah radhiyallahu 'anha beliau bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ وَافَقْتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ مَا أَدْعُو؟ قَالَ « تَقُولِينَ: ».
"Wahai Rasulullah, jika aku bertepatan akan lailatul qadar, apakah yang aku baca?", beliau bersabda: "Hendaknya kamu mengucapkan:
اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّى
Artinya: "Ya Allah, Sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf (dari kesalahan), mencintai maaf, maka maafkanlah aku (dari kesalahan-kesalahanku)". HR Ibnu Majah, no. 3982.

Semoga hal-hal berikut menggugah seorang muslim mencari Lailatul Qadar:
Allah telah menurunkan di dalamnya al-Quran yang Agung, yang dengannya terdapat petunjuk bagi manusi dan jin dan kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat, Allah Ta'ala berfirman:
{ إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْر }
Artinya: "Sungguh Kami telah menurukan (al-Quran) pada lailtul qadar". QS. al-Qadar:1.

Lailatul qadar adalah malam yang penuh berkah, Allah Ta'ala berfirman:
{ إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُّبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنذِرِين}
Artinya: "Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan". QS. ad-Dukhan: 3.

Di dalamnya dijelaskan setiap perkara yang himah, Allah Ta'ala berfirman:
{فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيم * أَمْرًا مِّنْ عِندِنَا إِنَّا كُنَّا مُرْسِلِين* رَحْمَةً مِّن رَّبِّكَ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيم }
Artinya: "Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami.  Sesungguhnya Kami adalah Yang mengutus rasul-rasul, sebagai rahmat dari Tuhanmu. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". QS. ad-Dukhan 4-6.
Disebutkan pada lailatul qadar apa yang akan terjadi selama setahun dari lauh al-Mahfuzh, baik berupa rizki, kematian, keburukan dan kebaikan.

Beramal ibadah di dalamnya lebih baik daripada beramal ibadah di seribu bulan, Allah Ta'ala berfirman:
{ لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْر }
Artinya: "Lailatul qadar lebih baik daripada seribu bulan". QS. al-Qadar:3.
maksudnya adalah lebih baik di dalam keutamaan, kemulian dan banyaknya pahala serta ganjaran.
Oleh sebab itulah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "
« مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ »
Artinya: "Barangsiapa yang beribadah pada lailatul qadar karena iman dan mengharapkan pahala, niscaya diampuni yang telah lau dari dosanya". HR. Bukhari, no. 1901

Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata: "Bahwa Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 
« لِلَّهِ فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حُرِمَ»
Artinya: "…di dalamnya Allah memiliki satu malam yang lebih baik dari seribu bulan, barangsiapa yang diharamkan dari kebaikannya maka ia benar-benar telah diharamkan kebaikan apapun". HR. an-Nasai, no. 2108 dan Ahmad, no. 7148 dan dishahikan oleh al-Albani di dalam Shahih Ibnu Majah, 2/456.

Dan di dalam hadits Anas radhiyallahu 'anhu, beliau berkata: "Pernah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memasuki bulan Ramadhan dan bersabda:
« إِنَّ هَذَا الشَّهْرَ قَدْ حَضَرَكُمْ وَفِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَهَا فَقَدْ حُرِمَ الْخَيْرَ كُلَّهُ وَلاَ يُحْرَمُ خَيْرَهَا إِلاَّ مَحْرُومٌ »
Artinya: "Sesungguhnya bulan ini telah mendatangi kalian dan di dalamnya ada satu malam yang lebih baik dari seribu bulan, barangsiapa yang diharamkan dari kebaikannya maka ia benar-benar telah diharamkan kebaikan seluruhnya, dan tidak ada orang yang diharamkan dari kebaikannya kecuali orang yang sangat merugi". HR. Ibnu Majah, no. 1644 dan di shahihkan oleh al-Albani di dalam Shahih Ibnu Majah, 2/159.

Pengagungan lailatul qadar di sisi Allah Ta'ala, yang menunjukkan hal ini adalah pertanyaan di dalam Firman-Nya:
{ وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْر }
Sesungguhnya hal ini menunjukkan kepada sebuah pengagungan dan pemuliaan, Ibnu Uyainah berkata: "Apa saja yang disebutkan di dalam Al Quran ((وما أدراك)) maka Dia telah memberitahukannya, apa saja yang disebutkan di dalam Al Quran((وما يدريك)) maka sesungguhnya tidak diketahui. HR Bukhari, no 2014.

Para Malaikat dan Jibril turun pada lailatul qadar, dan mereka tidak turun kecuali membawa kebaikan, berkah dan rahmat. Allah Ta'ala berfirman:
{ تَنَزَّلُ الْمَلاَئِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْر }
Artinya: "Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan". QS. al-Qadr: 4

Telah disebutkan di dalam sebuah hadits:
« إنَّ الْمَلاَئِكَةَ تِلْكَ اللَّيْلَةَ فِى الأَرْضِ أَكْثَرُ مِن عَدَدِ الْحَصَى »
Artinya: "Sesungguhnya para malaikat pada malam itu jumlahnya di bumi lebih banyak daripada bilangan batu-batu kerikil". HR. Ahmad, no. 11019 dan dishahihkan oleh al-Albani di dalam Silsilah al-ahadits ash-shahihah, no. 2205.

Lailatul qadar adalah keselamatan/kesejahteraan dikarenakan saking banyaknya di dalamnya yang selamat dari hukuman dan siksaan, disebabkan oleh apa yang telah dilakukan oleh seorang hamba berupa ketaatan-ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla, Allah Ta'ala berfirman:
{ سَلاَمٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْر }
Artinya: "Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar". QS. al-Qadr:5.

Di dalam lailatul qadar Allah telah menurunkan sebuah surat yang akan selalu di baca sampai hari kiamat, Allah Ta'ala berfirman:
{ إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْر * وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْر * لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْر * تَنَزَّلُ الْمَلاَئِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْر * سَلاَمٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْر }
Artinya: "Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur'an) pada malam kemuliaan". "Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?". "Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan". "Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan". "Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar". QS. al-Qadr: 1-5.
Barangsiapa yang beribadah pada lailatul qadar karena iman dan pengharapan pahala, niscaya diampuni yang telah lalu dari dosanya, sebagaimana yang telah disebutkan di atas.

Barangsiapa yang diharamkan dari kebaikannya maka sungguh ia telah diharamkan dari kebaikan seluruhnya dan tidak diharamkan akan kebaikannya kecuali orang yang sangat merugi. Sebagaimana yang telah disebutkan di atas.

Lailatul qadar adalah malam yang paling utama dalam setahun, karena beramal shalih di dalamnya lebih baik dari pada seribu bulan, apapun bentuk ibadah pada lailatul qadar lebih baik daripada beramal pada 83 tahun 4 bulan, ini adalah keutamaan yang luar biasa dan ganjaran yang sangat besar. Sedangkan malam Jum'at adalah malam yang paling utama selama seminggu, dan hari yang paling utaman selama setahun adalah hari 'iedul Adha dan hari Arafah, dan sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah lebih utama daripada sepuluh hari terkahir di bulan Ramadhan, sedangkan malam, maka sepuluh malam terkahir di bulan Ramadhan lebih baik daripada sepuluh malam dari bulan Dzulhijjah.

Kalau dapat Lailatul Qadar, mendingan disembunyikan…
Bukanlah keharusan lailatul qadar bisa dilihat, akan tetapi jika seorang muslim bersungguh-sungguh di dalam mencarinya di seluruh malam-malam dari sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan maka sungguh ia telah mendapatkannya dan mendapatkan keutamaan yang telah dijelaskan oleh Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, akan tetapi jika seorang melihatnya, maka lebih baik dia sembunyikan dan tidak memberitahukannya, Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah telah menyebutkan sebagaimana yang dinukilkan dari kitab Al Hawi: "Hikmah dari anjuran menyembunyikan lailatul qadar adalah bahwasanya ia adalah karamah (pemuliaan) dan sebuah karamah semestinya disembunyikan tanpa ada perselisihan diantara para peniti jalan Allah, jika dilihat dari sisi ingin ta'ajjub dengan diri sendiri dan tidak aman hilangnya karamah tersebut, jika dilihat dari sisi bahwasanya ia tidak aman dari sifat riya' dan jika dilihat dari sisi adab, maka janganlah menyibukkan diri dengan menyebutkannya kepada orang-orang sehingga lupa bersyukur kepada, dan jika dilihat dari sisi bahwa dia tidak aman dari sebuah kedengkian, maka hal ini akan menjadikan orang lain masuk ke dalam sebuah larangan. Dan hendaknya ia mengambil pelajaran dari perkataan Ya'qub:
{ يَا بُنَيَّ لاَ تَقْصُصْ رُؤْيَاكَ عَلَى إِخْوَتِكَ فَيَكِيدُواْ لَكَ كَيْدًا إِنَّ الشَّيْطَانَ لِلإِنسَانِ عَدُوٌّ مُّبِين }
Artinya: "Ayahnya berkata: "Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, maka mereka membuat makar (untuk membinasakan) mu.  Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia". QS. Yusuf: 5.
Oleh sebab itu, lebih utama dia sembunyikan dan tidak memberitahukannya bagi siapa yang telah melihat lailatul qadar. Lihat: Fath al-Bari, karya Ibnu Hajar, 4/268, al-Majmu' karya an-Nawawi, 6/461, al-Mausu'ah al- Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 35/368.

Disarikan dari kitab Ash Shiyamu Fil Islam, karya: DR. Sa'id bin Ali bin Wahf Al Qahthani hafizhahullah (hal. 432-434), oleh: Abu Abdillah Ahmad Zainuddin

Mengenali keajaiban waktu, sangat penting di bulan Ramadhan - Untaian Artikel "Ramadhan Bulan Penuh Berkah"


بسم الله الرحمن الرحيم, الحمد لله رب العالمين و صلى الله و سلم و بارك على نبينا محمد و آله و صحبه أجمعين, أما بعد:

Karena jumlah hari dalam bulan Ramadhan terbatas maka kita malam ini sudah memasuki malam pertama dari 10 malam terakhir dari Ramadhan, maka perhatikanlah Keajaiaban waktu…agar kita menggunakan Ramadhan bulan penuh berkah dengan sebaik-baiknya:

  1. Waktu adalah modal hidup manusia di dunia, dengan modal ini dia bisa berdagang dengan cara beribadah kepada Allah Ta’ala yang mendatangkan keuntungan pahala. Kalau tidak pandai menggunakan modal, maka modalnya akan habis dan yang ada kerugian.

{وَأَنذِرِ النَّاسَ يَوْمَ يَأْتِيهِمُ الْعَذَابُ فَيَقُولُ الَّذِينَ ظَلَمُواْ رَبَّنَا أَخِّرْنَا إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ نُّجِبْ دَعْوَتَكَ وَنَتَّبِعِ الرُّسُلَ أَوَلَمْ تَكُونُواْ أَقْسَمْتُم مِّن قَبْلُ مَا لَكُم مِّن زَوَالٍ}

Artinya: “Dan berikanlah peringatan kepada manusia tentang hari yang pada waktu itu datang azab kepada mereka, maka berkatalah orang-orang yang zhalim: "Wahai Rabb kami, beri waktu tangguhlah kepada kami, walaupun dalam waktu yang sebentar, niscaya kami akan mematuhi seruan Engkau dan akan mengikuti rasul-rasul. (Kepada mereka dikatakan): "Bukankah kamu telah bersumpah dahulu (di dunia) bahwa sekali-kali kamu tidak akan binasa?”.  QS. Ibrahim: 44

{ حَتَّى إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ (99) لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ كَلَّا إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَائِلُهَا وَمِنْ وَرَائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ (100) }

Artinya: “(Demikianlah keadaan orang-orang kafir), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: "Wahai Rabbku kembalikanlah aku ke dunia”. “Agar aku beramal saleh terhadap yang telah aku tinggalkan (ketika di dunia). Sekali-kali tidak.  Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan”. QS. Al Mukminun: 99-100.

  1. 2.    Waktu sangat cepat berlalu.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ - رضى الله عنهما - قَالَ قَالَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - « نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ ، الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ »

Artinya: “Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “2 nikmat kebanyakan manusia tertipu di dalam keduanya, yaitu kesehatan dan waktu luang”. HR. Bukhari.

  1. Waktu jika sudah berlalu, tidak akan pernah kembali.

Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu berkata:
إِنَّ لِلَّهِ حَقًّا بِالنَّهَارِ لاَ يَقْبَلُهُ بِاللَّيْلِ، وَإِنَّ لِلَّهِ حَقًّا بِاللَّيْلِ لاَ يَقْبَلُهُ بِالنَّهَارِ
Artinya: “Sesungguhnya Allah memiliki hak pada siang hari yang tidak akan diterima-Nya pada malam harinya, dan Allah memiliki hak pada malam hari yang tidak akan diterima-Nya pada siang hari”. Lihat kitab Dzikr Al Maqam Al Mahmud, karya Ahmad bin Muhammad Al Khallal dan Mushannaf Ibnu Abi Syaibah.
Umar bin Abduk Aziz rahimahullah pernah ditanya: “(Kenapa tidak engkau) coba pergi (bertamasya) kemudian istirahatkan dirimu?”, beliau menjawab: “Lalu siapa yang menggantikan diriku tugas pada hari itu?”, dikatakan kepada beliau: “Engkau akhirkan tugas itu besok hari”, beliau menjawab: “Tugas satu hari saja sudah menyibukkanku, bagaimana jika terkumpul padaku tugas dua hari?!”.
Al Hasan Al Bashry rahimahullah berkata:
لقد أدركت أقواما كانوا أشد حرصا على أوقاتهم من حرصكم على دراهمكم ودنانيركم!
Artinya: “Sungguh aku telah menemui orang-orang yang mana mereka sangat gigih terhadap waktu mereka dibandingkan gigihnya kalian dalam mencari emas dan perak”.
Inilah yang menyebabkan Muhammad bin Salam (w: 225H) membeli satu pena dengan harga 1 Dinar, padahal 1 Dinar bisa membeli dengannya 150 buah pena, bagaimana kejadiannya…
و كان محمد بن سلام جالسا في مجلس الإملاء والشيخ يحدث، فانكسر قلم محمد بن سلام، فقال: قلم بدينار، فتطايرت إليه الأقلام. وكان الدينار يشتري قرابة مائة وخمسون قلم، ولكن محمد بن سلام اشترى به تلك اللحظات التي إذا فاتت فإنها لا تعود.
Artinya: “Muhammad bin Salam pernah duduk di majelis periwayatan hadits, ketika itu syiekh sedang meriwayatkan hadits, lalu pena Muhammad bin Salam patah, lalu beliau bertanya: “Siapa yang mau menjual 1 pena dengan 1 Dinar”, pada saat itu berterbangan pena-pena ke arahnya (berasal dari orang-orang), dan saat itu 1 Dinar bisa membeli sekitar 150 pena, akan tetapi Muhammad bi Salam membelinya untuk mendapatkan kesempatan tersebut yang jika sesudah berlalu maka tidak akan kembali lagi. Lihat kitab Siyar A’lam An Nubala’.

  1. 4.    Seseorang tidak akan pernah mengetahui kapan lagi mendapatkan waktu yang lapang untuknya.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
 التسويف رؤوس أموال المفاليس.
Artinya: “Sikap menunda-nunda adalah modalnya seorang yang bangkrut”.
لو كان الوقت يشترى لاشتريت من هؤلاء أوقاتهم!
Artinya: “Jikalau waktu dapat dibeli dari mereka niscaya aku akan benar-benar dari mereka waktu mereka”.

Seorang Muslim tidak boleh punya waktu luang percuma…
Allah Ta’ala berfirman:
{ فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ }
Artinya: “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain”. QS. Asy Syarh: 7.
Berkata Ibnu Katsir rahimahullah:
أي: إذا فَرغت من أمور الدنيا وأشغالها وقطعت علائقها، فانصب في العبادة، وقم إليها نشيطا فارغ البال، وأخلص لربك النية والرغبة.
Artinya: “Jika kamu telah selesai dari urusan dan kesibukan dunia, dan kamu putuskan keterkaitan dengannya, maka berbuatlah untuk beribadah, dan bangunlah kepadanya dengan semangat dalam keadaan pikiran yang jernih, ikhlaskanlah niat dan keinginan untuk Rabbmu”.
Mujahid rahimahullah berkata:
إذا فرغت من أمر الدنيا فقمت إلى الصلاة، فانصب لربك،
Artinya: “Jika kamu telah selesai dari urusan dunia maka bangunlah untuk mengerjakan shalat, beribadahlah untuk Rabbmu”.
Berkata Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:
 إذا فرغت من الفرائض فانصب في قيام الليل.
Artinya: “Jika kamu telah selesai mengerjakan shalat wajib maka bangunlah untuk shalat malam”. Lihat kitab tafsir Ibnu Katsir.

Luangkan Waktu beribadah kepada Allah, maka pasti Anda kaya…!
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ ابْنَ آدَمَ تَفَرَّغْ لِعِبَادَتِى أَمْلأْ صَدْرَكَ غِنًى وَأَسُدَّ فَقْرَكَ وَإِلاَّ تَفْعَلْ مَلأْتُ صَدْرَكَ شُغْلاً وَلَمْ أَسُدَّ فَقْرَكَ »
Artinya: “Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatakan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Allah berfirman: “Wahai Anak Adam, luangkan waktumu untuk beribadah kepada-Ku, maka langsung aku isi hatimu dengan keakayaan dan langsung Aku tutupi kefakiran-Mu dan jika tidak demikian, maka aku telah isi hatimu dengan kesibukan dan tidak Aku tutupi kefakiranmu”. HR. Ahmad.
Yang tidak mengisi waktunya dengan sebaik-baiknya berarti tanda Allah Ta’ala berpaling dari hamba tersebut.
Berkata Saif Al Yamani rahimahullah:
" إِنَّ مِنْ عَلَامَةِ إِعْرَاضِ اللَّهِ عَنِ الْعَبْدِ أَنْ يَشْغَلَهُ بِمَا لَا يَنْفَعُهُ "
Artinya: “Sesungguhnya termasuk tanda berpalingnya Allah dari seorang hamba adalah hamba tersebut disibukkan-Nya dengan sesuatu yang tidak bermanfaat baginya”.

Cara Terbaik Menjaga Waktu…
AL Hasan bin Ali Al Abid berkata:
قَالَ فُضَيْلُ بْنُ عِيَاضٍ لِرَجُلٍ : كَمْ أَتَتْ عَلَيْكَ , قَالَ : سِتُّونَ سَنَةً , قَالَ : فَأَنْتَ مُنْذُ سِتِّينَ سَنَةً تَسِيرُ إِلَى رَبِّكَ تُوشِكُ أَنْ تَبْلُغَ , فَقَالَ الرَّجُلُ : يَا أَبَا عَلِيٍّ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ , قَالَ لَهُ الْفُضَيْلُ : تَعْلَمُ مَا تَقُولُ , قَالَ الرَّجُلُ : قُلْتُ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ . قَالَ الْفُضَيْلُ تَعْلَمُ مَا تَفْسِيرُهُ ؟ قَالَ الرَّجُلُ : فَسِّرْهُ لَنَا يَا أَبَا عَلِيٍّ , قَالَ : قَوْلُكَ إِنَّا لِلَّهُ ، تَقُولُ : أَنَا لِلَّهِ عَبْدٌ ، وَأَنَا إِلَى اللَّهِ رَاجِعٌ , فَمَنْ عَلِمَ أَنَّهُ عَبْدُ اللَّهِ وَأَنَّهُ إِلَيْهِ رَاجِعٌ , فَلْيَعْلَمْ بِأَنَّهُ مَوْقُوفٌ , وَمَنْ عَلِمَ بِأَنَّهُ مَوْقُوفٌ فَلْيَعْلَمْ بِأَنَّهُ مَسْئُولٌ وَمَنْ عَلِمَ أَنَّهُ مَسْئُولٌ فَلْيُعِدَّ للسُّؤَالَ جَوَابًا , فَقَالَ الرَّجُلُ : فَمَا الْحِيلَةُ قَالَ : يَسِيرَةٌ , قَالَ : مَا هِيَ قَالَ : تُحْسِنُ فِيمَا بَقِيَ يُغْفَرُ لَكَ مَا مَضَى وَمَا بَقِيَ , فَإِنَّكَ إِنْ أَسَأْتَ فِيمَا بَقِيَ أُخِذْتَ بِمَا مَضَى وَمَا بَقِيَ " .(الحلية )
Artinya: “Fudhail bin Iyadh bertanya kepada seseorang: “Berpa umurmu?”, orang ini menjawab: “ 60 tahun”, beliau berkata: “Sungguh engaku mulai dari 60 tahuan berjalan menuju Rabbmu hampai kamu sampai”, lalu orang itu berkata: “Wahai Abu Ali (Fudhail bin Iyadh), Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi raji’un”, fudhail bertanya kepadanya: “Pahamkah apa yang kau katakan?”, orang ini menjawab: “Aku Telah mengatakan: “Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi raji’un”, Fudhail bertanya lagi: “Apakah kamu mengetahui tafsirannya?”, orang ini menjawab: “Kalau begitu tafsir itu untuk kami, wahai Abu Ali?”, Fudhail berkata: “Perkataanmu “Inna Lillahi wa”, kamu mengatakan: “Aku adalah hamba milik Allah dan kepada-Nya aku dikembalikan, maka barangsiapa yang mengetahui bahwa dia adalah hamba Allah dan dia akan kembali kepada-Nya maka hendaklah dia ketahui bahwa dia akan diberdirikan dan barang siapa yang mengetahui dia akan diberdirikan maka hendaklah dia mengetahui bahwa dia akan ditanya, maka hendaklah dia persiapkan jawaban untuk pertanyaan itu”, lalu orang ini bertanya: “Lalu bagaimana jalan keluarnya?”, kata Fudhail: “gampang”, orang ini bertanya: “Apa itu?”, Fudhail menjawab: “Berbuat baiklah disisa umurmu maka hal itu akan mengampuni dosa-dosamu yang telah lalu dan yang masih tersisa, karena sesungguhnya jika engkau rusak (berbuat buruk) sisa umurmu maka ditulis dosa bagimu atas umur yang sudah lewat dan yang akan datang”. Lihat kitab Hilyat Al Awliya’.  

Dunia Adalah Perhiasan,Sebaik-baik Perhiasan Adalah Wanita Sholehah

Dari Abu Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu ‘Anhuma bahwa Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,“Dunia ini adalah perhiasan/kesenangan dan sebaik-baik perhiasan/kesenangan dunia adalah wanita solehah''(HR.Muslim:3649,Nasai
,Ibnu Majah) ♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥ Sifat-sifat Istri Shalihah Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ “Wanita (istri) shalihah adalah yang taat lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada dikarenakan Allah telah memelihara mereka.” (An-Nisa: 34) Dalam ayat yang mulia di atas disebutkan di antara sifat wanita shalihah adalah taat kepada Allah dan kepada suaminya dalam perkara yang ma‘ruf6 lagi memelihara dirinya ketika suaminya tidak berada di sampingnya. Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa‘di rahimahullah berkata: “Tugas seorang istri adalah menunaikan ketaatan kepada Rabbnya dan taat kepada suaminya, karena itulah Allah berfirman: “Wanita shalihah adalah yang taat,” yakni taat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, “Lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada.” Yakni taat kepada suami mereka bahkan ketika suaminya tidak ada (sedang bepergian, pen.), dia menjaga suaminya dengan menjaga dirinya dan harta suaminya.” (Taisir Al-Karimir Rahman, hal.177) Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menghadapi permasalahan dengan istri-istrinya sampai beliau bersumpah tidak akan mencampuri mereka selama sebulan, Allah Subhanahu wa Ta'ala menyatakan kepada Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam: عَسَى رَبُّهُ إِنْ طَلَّقَكُنَّ أَنْ يُبْدِلَهُ أَزْوَاجًا خَيْرًا مِنْكُنَّ مُسْلِمَاتٍ مُؤْمِنَاتٍ قَانِتَاتٍ تآئِبَاتٍ عَابِدَاتٍ سآئِحَاتٍ ثَيِّبَاتٍ وَأَبْكَارًا “Jika sampai Nabi menceraikan kalian,7 mudah-mudahan Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik daripada kalian, muslimat, mukminat, qanitat, taibat, ‘abidat, saihat dari kalangan janda ataupun gadis.” (At-Tahrim: 5) Dalam ayat yang mulia di atas disebutkan beberapa sifat istri yang shalihah yaitu: a. Muslimat: wanita-wanita yang ikhlas (kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala), tunduk kepada perintah Allah ta‘ala dan perintah Rasul-Nya. b. Mukminat: wanita-wanita yang membenarkan perintah dan larangan Allah Subhanahu wa Ta'ala c. Qanitat: wanita-wanita yang taat d. Taibat: wanita-wanita yang selalu bertaubat dari dosa-dosa mereka, selalu kembali kepada perintah (perkara yang ditetapkan) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam walaupun harus meninggalkan apa yang disenangi oleh hawa nafsu mereka. e. ‘Abidat: wanita-wanita yang banyak melakukan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala (dengan mentauhidkannya karena semua yang dimaksud dengan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala di dalam Al-Qur’an adalah tauhid, kata Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma). f. Saihat: wanita-wanita yang berpuasa. (Al-Jami‘ li Ahkamil Qur’an, 18/126-127, Tafsir Ibnu Katsir, 8/132) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan: إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا، قِيْلَ لَهَا: ادْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ “Apabila seorang wanita shalat lima waktu, puasa sebulan (Ramadhan), menjaga kemaluannya dan taat kepada suaminya, maka dikatakan kepadanya: Masuklah engkau ke dalam surga dari pintu mana saja yang engkau sukai.” (HR. Ahmad 1/191, dishahihkan Asy-Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Shahihul Jami’ no. 660, 661) Dari dalil-dalil yang telah disebutkan di atas, dapatlah kita simpulkan bahwa sifat istri yang shalihah adalah sebagai berikut: 1. Mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan mempersembahkan ibadah hanya kepada-Nya tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatupun. 2. Tunduk kepada perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala, terus menerus dalam ketaatan kepada-Nya dengan banyak melakukan ibadah seperti shalat, puasa, bersedekah, dan selainnya. Membenarkan segala perintah dan larangan Allah Subhanahu wa Ta'ala. 3. Menjauhi segala perkara yang dilarang dan menjauhi sifat-sifat yang rendah. 4. Selalu kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan bertaubat kepada-Nya sehingga lisannya senantiasa dipenuhi istighfar dan dzikir kepada-Nya. Sebaliknya ia jauh dari perkataan yang laghwi, tidak bermanfaat dan membawa dosa seperti dusta, ghibah, namimah, dan lainnya. 5. Menaati suami dalam perkara kebaikan bukan dalam bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan melaksanakan hak-hak suami sebaik-baiknya. 6. Menjaga dirinya ketika suami tidak berada di sisinya. Ia menjaga kehormatannya dari tangan yang hendak menyentuh, dari mata yang hendak melihat, atau dari telinga yang hendak mendengar. Demikian juga menjaga anak-anak, rumah, dan harta suaminya. Sifat istri shalihah lainnya bisa kita rinci berikut ini berdasarkan dalil-dalil yang disebutkan setelahnya: 1. Penuh kasih sayang, selalu kembali kepada suaminya dan mencari maafnya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِنِسَائِكُمْ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ؟ اَلْوَدُوْدُ الْوَلُوْدُ الْعَؤُوْدُ عَلَى زَوْجِهَا، الَّتِى إِذَا غَضِبَ جَاءَتْ حَتَّى تَضَعَ يَدَهَا فِي يَدِ زَوْجِهَا، وَتَقُوْلُ: لاَ أَذُوقُ غَضْمًا حَتَّى تَرْضَى “Maukah aku beritahukan kepada kalian, istri-istri kalian yang menjadi penghuni surga yaitu istri yang penuh kasih sayang, banyak anak, selalu kembali kepada suaminya. Di mana jika suaminya marah, dia mendatangi suaminya dan meletakkan tangannya pada tangan suaminya seraya berkata: “Aku tak dapat tidur sebelum engkau ridha.” (HR. An-Nasai dalam Isyratun Nisa no. 257. Silsilah Al-Ahadits Ash Shahihah, Asy-Syaikh Al Albani rahimahullah, no. 287) 2. Melayani suaminya (berkhidmat kepada suami) seperti menyiapkan makan minumnya, tempat tidur, pakaian, dan yang semacamnya. 3. Menjaga rahasia-rahasia suami, lebih-lebih yang berkenaan dengan hubungan intim antara dia dan suaminya. Asma’ bintu Yazid radhiallahu 'anha menceritakan dia pernah berada di sisi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ketika itu kaum lelaki dan wanita sedang duduk. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya: “Barangkali ada seorang suami yang menceritakan apa yang diperbuatnya dengan istrinya (saat berhubungan intim), dan barangkali ada seorang istri yang mengabarkan apa yang diperbuatnya bersama suaminya?” Maka mereka semua diam tidak ada yang menjawab. Aku (Asma) pun menjawab: “Demi Allah! Wahai Rasulullah, sesungguhnya mereka (para istri) benar-benar melakukannya, demikian pula mereka (para suami).” Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: فَلاَ تَفْعَلُوا، فَإِنَّمَا ذَلِكَ مِثْلُ الشَّيْطَانِ لَقِيَ شَيْطَانَةً فِي طَرِيْقٍ فَغَشِيَهَا وَالنَّاسُ يَنْظُرُوْنَ “Jangan lagi kalian lakukan, karena yang demikian itu seperti syaithan jantan yang bertemu dengan syaitan betina di jalan, kemudian digaulinya sementara manusia menontonnya.” (HR. Ahmad 6/456, Asy-Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Adabuz Zafaf (hal. 63) menyatakan ada syawahid (pendukung) yang menjadikan hadits ini shahih atau paling sedikit hasan) 4. Selalu berpenampilan yang bagus dan menarik di hadapan suaminya sehingga bila suaminya memandang akan menyenangkannya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: أَلاَ أُخْبِرَكَ بِخَيْرِ مَا يَكْنِزُ الْمَرْءُ، اَلْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، إِذَا نَظَرَ إِلَيْهَا سَرَّتْهَ وَإِذَا أَمَرَهَا أَطَاعَتْهَ وَإِذَا غَابَ عَنْهَا حَفِظَتْهَ “Maukah aku beritakan kepadamu tentang sebaik-baik perbendaharaan seorang lelaki, yaitu istri shalihah yang bila dipandang akan menyenangkannya, bila diperintah akan mentaatinya dan bila ia pergi si istri ini akan menjaga dirinya”. (HR. Abu Dawud no. 1417. Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah berkata dalam Al-Jami’ush Shahih 3/57: “Hadits ini shahih di atas syarat Muslim.”) 5. Ketika suaminya sedang berada di rumah (tidak bepergian/ safar), ia tidak menyibukkan dirinya dengan melakukan ibadah sunnah yang dapat menghalangi suaminya untuk istimta‘ (bernikmat-nikmat) dengannya seperti puasa, terkecuali bila suaminya mengizinkan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ “Tidak halal bagi seorang istri berpuasa (sunnah) sementara suaminya ada (tidak sedang bepergian) kecuali dengan izinnya”. (HR. Al-Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026) 6. Pandai mensyukuri pemberian dan kebaikan suami, tidak melupakan kebaikannya, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda: “Diperlihatkan neraka kepadaku, ternyata aku dapati kebanyakan penghuninya adalah kaum wanita yang kufur.” Ada yang bertanya kepada beliau: “Apakah mereka kufur kepada Allah?” Beliau menjawab: “Mereka mengkufuri suami dan mengkufuri (tidak mensyukuri) kebaikannya. Seandainya salah seorang dari kalian berbuat baik kepada seorang di antara mereka (istri) setahun penuh, kemudian dia melihat darimu sesuatu (yang tidak berkenan baginya) niscaya dia berkata: “Aku tidak pernah melihat darimu kebaikan sama sekali.” (HR. Al-Bukhari no. 29 dan Muslim no. 907) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga pernah bersabda: لاَ يَنْظُرُ اللهُ إِلَى امْرَأَةٍ لاَ تَشْكُرُ لِزَوْجِهَا وَهِيَ لاَ تَسْتَغْنِي عَنْهُ “Allah tidak akan melihat kepada seorang istri yang tidak bersyukur kepada suaminya padahal dia membutuhkannya.” (HR. An-Nasai dalam Isyratun Nisa. Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 289) 7. Bersegera memenuhi ajakan suami untuk memenuhi hasratnya, tidak menolaknya tanpa alasan yang syar‘i, dan tidak menjauhi tempat tidur suaminya, karena ia tahu dan takut terhadap berita Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam: وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا مِنْ رَجُلٍ يَدْعُو امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَتَأْبَى عَلَيْهِ إِلاَّ كَانَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ سَاخِطًا عَلَيْهَا حَتَّى يَرْضَى عَنْهَا “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya lalu si istri menolak (enggan) melainkan yang di langit murka terhadapnya hingga sang suami ridha padanya.” (HR. Muslim no.1436) إِذَا بَاتَتِ الْمَرْأَةُ مُهَاجِرَةً فِرَاشَ زَوْجِهَا لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تَرْجِعَ “Apabila seorang istri bermalam dalam keadaan meninggalkan tempat tidur suaminya, niscaya para malaikat melaknatnya sampai ia kembali (ke suaminya).” (HR. Al-Bukhari no. 5194 dan Muslim no. 1436) Demikian yang dapat kami sebutkan dari keutamaan dan sifat-sifat istri shalihah, mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta'ala memberi taufik kepada kita agar dapat menjadi wanita yang shalihah,Aamiin ya Rabbal'alamin

Mengenali keajaiban waktu, sangat penting di bulan Ramadhan - Untaian Artikel "Ramadhan Bulan Penuh Berkah"

 بسم الله الرحمن الرحيم, الحمد لله رب العالمين و صلى الله و سلم و بارك على نبينا محمد و آله و صحبه أجمعين, أما بعد:

Karena jumlah hari dalam bulan Ramadhan terbatas maka kita malam ini sudah memasuki malam pertama dari 10 malam terakhir dari Ramadhan, maka perhatikanlah Keajaiaban waktu…agar kita menggunakan Ramadhan bulan penuh berkah dengan sebaik-baiknya:

  1. Waktu adalah modal hidup manusia di dunia, dengan modal ini dia bisa berdagang dengan cara beribadah kepada Allah Ta’ala yang mendatangkan keuntungan pahala. Kalau tidak pandai menggunakan modal, maka modalnya akan habis dan yang ada kerugian.

{وَأَنذِرِ النَّاسَ يَوْمَ يَأْتِيهِمُ الْعَذَابُ فَيَقُولُ الَّذِينَ ظَلَمُواْ رَبَّنَا أَخِّرْنَا إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ نُّجِبْ دَعْوَتَكَ وَنَتَّبِعِ الرُّسُلَ أَوَلَمْ تَكُونُواْ أَقْسَمْتُم مِّن قَبْلُ مَا لَكُم مِّن زَوَالٍ}

Artinya: “Dan berikanlah peringatan kepada manusia tentang hari yang pada waktu itu datang azab kepada mereka, maka berkatalah orang-orang yang zhalim: "Wahai Rabb kami, beri waktu tangguhlah kepada kami, walaupun dalam waktu yang sebentar, niscaya kami akan mematuhi seruan Engkau dan akan mengikuti rasul-rasul. (Kepada mereka dikatakan): "Bukankah kamu telah bersumpah dahulu (di dunia) bahwa sekali-kali kamu tidak akan binasa?”.  QS. Ibrahim: 44

{ حَتَّى إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ (99) لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ كَلَّا إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَائِلُهَا وَمِنْ وَرَائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ (100) }

Artinya: “(Demikianlah keadaan orang-orang kafir), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: "Wahai Rabbku kembalikanlah aku ke dunia”. “Agar aku beramal saleh terhadap yang telah aku tinggalkan (ketika di dunia). Sekali-kali tidak.  Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan”. QS. Al Mukminun: 99-100.

  1. 2.    Waktu sangat cepat berlalu.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ - رضى الله عنهما - قَالَ قَالَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - « نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ ، الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ »

Artinya: “Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “2 nikmat kebanyakan manusia tertipu di dalam keduanya, yaitu kesehatan dan waktu luang”. HR. Bukhari.

  1. Waktu jika sudah berlalu, tidak akan pernah kembali.

Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu berkata:
إِنَّ لِلَّهِ حَقًّا بِالنَّهَارِ لاَ يَقْبَلُهُ بِاللَّيْلِ، وَإِنَّ لِلَّهِ حَقًّا بِاللَّيْلِ لاَ يَقْبَلُهُ بِالنَّهَارِ
Artinya: “Sesungguhnya Allah memiliki hak pada siang hari yang tidak akan diterima-Nya pada malam harinya, dan Allah memiliki hak pada malam hari yang tidak akan diterima-Nya pada siang hari”. Lihat kitab Dzikr Al Maqam Al Mahmud, karya Ahmad bin Muhammad Al Khallal dan Mushannaf Ibnu Abi Syaibah.
Umar bin Abduk Aziz rahimahullah pernah ditanya: “(Kenapa tidak engkau) coba pergi (bertamasya) kemudian istirahatkan dirimu?”, beliau menjawab: “Lalu siapa yang menggantikan diriku tugas pada hari itu?”, dikatakan kepada beliau: “Engkau akhirkan tugas itu besok hari”, beliau menjawab: “Tugas satu hari saja sudah menyibukkanku, bagaimana jika terkumpul padaku tugas dua hari?!”.
Al Hasan Al Bashry rahimahullah berkata:
لقد أدركت أقواما كانوا أشد حرصا على أوقاتهم من حرصكم على دراهمكم ودنانيركم!
Artinya: “Sungguh aku telah menemui orang-orang yang mana mereka sangat gigih terhadap waktu mereka dibandingkan gigihnya kalian dalam mencari emas dan perak”.
Inilah yang menyebabkan Muhammad bin Salam (w: 225H) membeli satu pena dengan harga 1 Dinar, padahal 1 Dinar bisa membeli dengannya 150 buah pena, bagaimana kejadiannya…
و كان محمد بن سلام جالسا في مجلس الإملاء والشيخ يحدث، فانكسر قلم محمد بن سلام، فقال: قلم بدينار، فتطايرت إليه الأقلام. وكان الدينار يشتري قرابة مائة وخمسون قلم، ولكن محمد بن سلام اشترى به تلك اللحظات التي إذا فاتت فإنها لا تعود.
Artinya: “Muhammad bin Salam pernah duduk di majelis periwayatan hadits, ketika itu syiekh sedang meriwayatkan hadits, lalu pena Muhammad bin Salam patah, lalu beliau bertanya: “Siapa yang mau menjual 1 pena dengan 1 Dinar”, pada saat itu berterbangan pena-pena ke arahnya (berasal dari orang-orang), dan saat itu 1 Dinar bisa membeli sekitar 150 pena, akan tetapi Muhammad bi Salam membelinya untuk mendapatkan kesempatan tersebut yang jika sesudah berlalu maka tidak akan kembali lagi. Lihat kitab Siyar A’lam An Nubala’.

  1. 4.    Seseorang tidak akan pernah mengetahui kapan lagi mendapatkan waktu yang lapang untuknya.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
 التسويف رؤوس أموال المفاليس.
Artinya: “Sikap menunda-nunda adalah modalnya seorang yang bangkrut”.
لو كان الوقت يشترى لاشتريت من هؤلاء أوقاتهم!
Artinya: “Jikalau waktu dapat dibeli dari mereka niscaya aku akan benar-benar dari mereka waktu mereka”.

Seorang Muslim tidak boleh punya waktu luang percuma…
Allah Ta’ala berfirman:
{ فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ }
Artinya: “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain”. QS. Asy Syarh: 7.
Berkata Ibnu Katsir rahimahullah:
أي: إذا فَرغت من أمور الدنيا وأشغالها وقطعت علائقها، فانصب في العبادة، وقم إليها نشيطا فارغ البال، وأخلص لربك النية والرغبة.
Artinya: “Jika kamu telah selesai dari urusan dan kesibukan dunia, dan kamu putuskan keterkaitan dengannya, maka berbuatlah untuk beribadah, dan bangunlah kepadanya dengan semangat dalam keadaan pikiran yang jernih, ikhlaskanlah niat dan keinginan untuk Rabbmu”.
Mujahid rahimahullah berkata:
إذا فرغت من أمر الدنيا فقمت إلى الصلاة، فانصب لربك،
Artinya: “Jika kamu telah selesai dari urusan dunia maka bangunlah untuk mengerjakan shalat, beribadahlah untuk Rabbmu”.
Berkata Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:
 إذا فرغت من الفرائض فانصب في قيام الليل.
Artinya: “Jika kamu telah selesai mengerjakan shalat wajib maka bangunlah untuk shalat malam”. Lihat kitab tafsir Ibnu Katsir.

Luangkan Waktu beribadah kepada Allah, maka pasti Anda kaya…!
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ ابْنَ آدَمَ تَفَرَّغْ لِعِبَادَتِى أَمْلأْ صَدْرَكَ غِنًى وَأَسُدَّ فَقْرَكَ وَإِلاَّ تَفْعَلْ مَلأْتُ صَدْرَكَ شُغْلاً وَلَمْ أَسُدَّ فَقْرَكَ »
Artinya: “Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatakan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Allah berfirman: “Wahai Anak Adam, luangkan waktumu untuk beribadah kepada-Ku, maka langsung aku isi hatimu dengan keakayaan dan langsung Aku tutupi kefakiran-Mu dan jika tidak demikian, maka aku telah isi hatimu dengan kesibukan dan tidak Aku tutupi kefakiranmu”. HR. Ahmad.
Yang tidak mengisi waktunya dengan sebaik-baiknya berarti tanda Allah Ta’ala berpaling dari hamba tersebut.
Berkata Saif Al Yamani rahimahullah:
" إِنَّ مِنْ عَلَامَةِ إِعْرَاضِ اللَّهِ عَنِ الْعَبْدِ أَنْ يَشْغَلَهُ بِمَا لَا يَنْفَعُهُ "
Artinya: “Sesungguhnya termasuk tanda berpalingnya Allah dari seorang hamba adalah hamba tersebut disibukkan-Nya dengan sesuatu yang tidak bermanfaat baginya”.

Cara Terbaik Menjaga Waktu…
AL Hasan bin Ali Al Abid berkata:
قَالَ فُضَيْلُ بْنُ عِيَاضٍ لِرَجُلٍ : كَمْ أَتَتْ عَلَيْكَ , قَالَ : سِتُّونَ سَنَةً , قَالَ : فَأَنْتَ مُنْذُ سِتِّينَ سَنَةً تَسِيرُ إِلَى رَبِّكَ تُوشِكُ أَنْ تَبْلُغَ , فَقَالَ الرَّجُلُ : يَا أَبَا عَلِيٍّ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ , قَالَ لَهُ الْفُضَيْلُ : تَعْلَمُ مَا تَقُولُ , قَالَ الرَّجُلُ : قُلْتُ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ . قَالَ الْفُضَيْلُ تَعْلَمُ مَا تَفْسِيرُهُ ؟ قَالَ الرَّجُلُ : فَسِّرْهُ لَنَا يَا أَبَا عَلِيٍّ , قَالَ : قَوْلُكَ إِنَّا لِلَّهُ ، تَقُولُ : أَنَا لِلَّهِ عَبْدٌ ، وَأَنَا إِلَى اللَّهِ رَاجِعٌ , فَمَنْ عَلِمَ أَنَّهُ عَبْدُ اللَّهِ وَأَنَّهُ إِلَيْهِ رَاجِعٌ , فَلْيَعْلَمْ بِأَنَّهُ مَوْقُوفٌ , وَمَنْ عَلِمَ بِأَنَّهُ مَوْقُوفٌ فَلْيَعْلَمْ بِأَنَّهُ مَسْئُولٌ وَمَنْ عَلِمَ أَنَّهُ مَسْئُولٌ فَلْيُعِدَّ للسُّؤَالَ جَوَابًا , فَقَالَ الرَّجُلُ : فَمَا الْحِيلَةُ قَالَ : يَسِيرَةٌ , قَالَ : مَا هِيَ قَالَ : تُحْسِنُ فِيمَا بَقِيَ يُغْفَرُ لَكَ مَا مَضَى وَمَا بَقِيَ , فَإِنَّكَ إِنْ أَسَأْتَ فِيمَا بَقِيَ أُخِذْتَ بِمَا مَضَى وَمَا بَقِيَ " .(الحلية )
Artinya: “Fudhail bin Iyadh bertanya kepada seseorang: “Berpa umurmu?”, orang ini menjawab: “ 60 tahun”, beliau berkata: “Sungguh engaku mulai dari 60 tahuan berjalan menuju Rabbmu hampai kamu sampai”, lalu orang itu berkata: “Wahai Abu Ali (Fudhail bin Iyadh), Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi raji’un”, fudhail bertanya kepadanya: “Pahamkah apa yang kau katakan?”, orang ini menjawab: “Aku Telah mengatakan: “Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi raji’un”, Fudhail bertanya lagi: “Apakah kamu mengetahui tafsirannya?”, orang ini menjawab: “Kalau begitu tafsir itu untuk kami, wahai Abu Ali?”, Fudhail berkata: “Perkataanmu “Inna Lillahi wa”, kamu mengatakan: “Aku adalah hamba milik Allah dan kepada-Nya aku dikembalikan, maka barangsiapa yang mengetahui bahwa dia adalah hamba Allah dan dia akan kembali kepada-Nya maka hendaklah dia ketahui bahwa dia akan diberdirikan dan barang siapa yang mengetahui dia akan diberdirikan maka hendaklah dia mengetahui bahwa dia akan ditanya, maka hendaklah dia persiapkan jawaban untuk pertanyaan itu”, lalu orang ini bertanya: “Lalu bagaimana jalan keluarnya?”, kata Fudhail: “gampang”, orang ini bertanya: “Apa itu?”, Fudhail menjawab: “Berbuat baiklah disisa umurmu maka hal itu akan mengampuni dosa-dosamu yang telah lalu dan yang masih tersisa, karena sesungguhnya jika engkau rusak (berbuat buruk) sisa umurmu maka ditulis dosa bagimu atas umur yang sudah lewat dan yang akan datang”. Lihat kitab Hilyat Al Awliya’.

☆。"★。 ☆★。 ☆。...JANGAN TANGISI APA YANG BUKAN MILIK MU..."。 ☆。"★

بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم ....Dalam perjalanan hidup ini ......seringkali kita merasa kecewa. ...Kecewa sekali. .....Sesuatu yang luput dari genggaman, ...keinginan yang tidak tercapai dan .......kenyataan yang tidak sesuai harapan. ......Dan sungguh sangat beruntung ...andai dalam saat-saat tergoncangnya jiwa, ......masih ada setitik cahaya dalam kalbu ....untuk merenungi kebenaran. ......Masih ada kekuatan untuk melangkahkan ...kaki menuju majlis-majlis ilmu, ......majlis-majlis zikir yang akan .......mengembalikan ketenteraman jiwa. .....Hidup ini ibarat belantara. ...Tempat kita mengejar berbagai keinginan. ......Dan memang manusia diciptakan mempunyai kehendak, .....mempunyai keinginan. ...Tetapi tidak semua apa yang .......kita inginkan akan terbukti, ....tidak semua yang kita mahu akan tercapai. ......Dan tidak mudah juga untuk disedari bahawa .........apa yang bukan menjadi hak kita .....tidak perlu kita tangisi. ....Ramai orang tidak memahami ...bahawa hidup ini tidak hanya ........mempunyai satu hukum ... .....harus berjaya, harus bahagia ...atau harus yang lain-lain. ....Betapa ramai orang yang berjaya ......tetapi lupa bahawa semuanya itu ....pemberian ALLAH SUBHANAHU WA TA'ALA ..hingga membuat mereka sombong dan .........bertindak sewenang-wenangnya. ...Begitu juga kegagalan sering .........tidak dihadapi dengan benar. ...Padahal dimensi tauhid dari ........kegagalan adalah tidak tercapainya ..apa yang memang bukan hak kita. ......Hakikat kegagalan adalah tidak terkait ...dengan apa yang memang bukan hak kita. ...Apa yang memang menjadi .....milik kita di dunia, ........sama ada itu rezeki, jabatan atau kedudukan, ...pasti akan ALLAH SUBHANAHU WA TA'ALA sampaikan. .....Tetapi apa yang memang bukan milik kita, ...tidak akan dapat kita miliki. .....Meskipun ia nyaris menghampiri kita, ...meskipun kita bermati-matian mengusahakannya. "★。MAKA LEPASKAN YANG BUKAN MILIK KITA DENGAN IKHLAS HATI YANG LAPANG "★。 مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَىٰ مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri, (al-Hadiid: 22-23) .....Demikian juga bagi yang sedang berkeinginan terhadap jodoh. ......Kadangkala kita tidak sedar ketentuan ALLAH SUBHANAHU WA TA'ALA tentang jodoh kita, .......bukannya meminta yang terbaik dalam istikharah kita tetapi .....ia sebenar-benarnya ketentuan ALLAH: .....Ada yang berdoa "yang pentingnya harus dia Ya ALLAH! Harus dia, ....kerana aku sangat mencintainya !!. ..."Jadinya seakan-akan kita yang menentukan segalanya, .......kita meminta dengan paksa. ....Dan akhirnya kalau pun Allah memberikannya .......maka tak selalu itu yang terbaik. ...Boleh jadi ALLAH tidak menghulurkannya ......dengan kelembutan tapi melemparkannya ........dengan marah kerana niat kita yang terkotor. ....Maka setelah ini wahai jiwa, ..jangan kau hanyut dalam nestapa ........jiwa berpanjangan terhadap ....apa-apa yang luput darimu. .......Setelah ini harus benar-benar ...difikirkan bahawa apa-apa yang kita rasa ......perlu di dunia ini harus benar-benar perlu, ....bila ada relevannya dengan harapan kita akan bahagia di akhirat. ......Kerana seorang Mukmin tidak hidup untuk dunia ...tetapi menjadikan dunia untuk mencari .......hidup yang sesungguhnya .. hidup di akhirat kelak. .......Maka ya... sudahlah, jangan kau tangisi apa yang bukan milikmu......... (By.Mutiara Iman) Keep Smile ^____^ Ya... ALLAH .. I Want To Be A Perfect Muslim .¤*¨¨*¤.¸¸.¤*¨¨*¤.¸¸. \¸..Allahu Akbar.¸¸. .\¸.¤*¨¨*¤.¸¸.¤*¨¨*¤.¸¸. ...\ ☻/... /▌.... / \......  ♥ ~ NOTE & SHARE Ukhty La Tahzan ~   ♥ I LOVE YOU Because ALLAH ......

MENGGERAK-GERAKKAN JARI TELUNJUK KETIKA TASYAHHUD ADALAH SUNNAH


Ketika kita melakukan sholat berjamaah seringkali kita jumpai ada sebagian ikhwah dalam praktek sholatnya menggerak-gerakkan jari telunjuknya ketika tasyahud. Sebagian ikhwah yang lain merasa heran dengan hal itu karena –umumnya- sejak kecil mereka tidak mendapatkan pelajaran tentang hal itu.

Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah hal itu yakni menggerak-gerakkan jari telunjuk ketika tasyahud itu ada keterangan atau contoh dari Rasulullah Alaihi Sholatu Wa Sallam? Apakah termasuk bagian dari Sunnah Rasulullah Alaihi Sholatu Wa Sallam ? Penasaran ? Mari kita ikuti pembahasan berikut:

Pembahasan tentang gerak jari telunjuk ketika tasyahud berpulang kepada hadits Waail bin Hujr yang diriwayatkan dari Zaaidah bin Qudamah dari ‘Ashim bin Khulaib dari Khulaib bin Syihaab. Hadits yang dimaksud adalah sebagai berikut:

أَخْبَرَنَا سُوَيْدُ بْنُ نَصْرٍ قَالَ أَنْبَأَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ زَائِدَةَ قَالَ حَدَّثَنَا عَاصِمُ بْنُ كُلَيْبٍ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي أَنَّ وَائِلَ بْنَ حُجْرٍ أَخْبَرَهُ قَالَ قُلْتُ لَأَنْظُرَنَّ إِلَى صَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَيْفَ يُصَلِّي فَنَظَرْتُ إِلَيْهِ فَقَامَ فَكَبَّرَ وَرَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى حَاذَتَا بِأُذُنَيْهِ ثُمَّ وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى كَفِّهِ الْيُسْرَى وَالرُّسْغِ وَالسَّاعِدِ فَلَمَّا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ رَفَعَ يَدَيْهِ مِثْلَهَا قَالَ وَوَضَعَ يَدَيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ ثُمَّ لَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ رَفَعَ يَدَيْهِ مِثْلَهَا ثُمَّ سَجَدَ فَجَعَلَ كَفَّيْهِ بِحِذَاءِ أُذُنَيْهِ ثُمَّ قَعَدَ وَافْتَرَشَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَوَضَعَ كَفَّهُ الْيُسْرَى عَلَى فَخِذِهِ وَرُكْبَتِهِ الْيُسْرَى وَجَعَلَ حَدَّ مِرْفَقِهِ الْأَيْمَنِ عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى ثُمَّ قَبَضَ اثْنَتَيْنِ مِنْ أَصَابِعِهِ وَحَلَّقَ حَلْقَةً ثُمَّ رَفَعَ إِصْبَعَهُ فَرَأَيْتُهُ يُحَرِّكُهَا يَدْعُو بِهَا *

Dari Zaaidah bin Qudamah dari ‘Aashim bin Kulaib, ia berkata:

Telah mengabarkan kepadaku bapakku (yaitu Kulaib bin Syihaab) dari Waail bin Hujr –semoga Allah Meridhainya- ia berkata, ‘Aku berkata (yakni di dalam hati): Sungguh! Betul-betul aku akan melihat/memperhatikan bagaimana caranya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mendirikan shalat?’

Berkata Waail, ‘Maka aku melihat beliau berdiri (menghadap ke kiblat) kemudian bertakbir sambil mengangkat kedua tangannya sehingga setentang dengan kedua telinganya. Kemudian beliau meletakkan kedua tangan kanannya di atas punggung telapak tangan kirinya dan di atas pergelangan dan lengan.’

Berkata Waail,’Ketika beliau hendak ruku’ beliau pun mengangkat kedua tangannya seperti di atas, kemudian beliau meletakkan kedua tangannya di atas kedua lututnya. Kemudian beliau mengangkat kepalanya (yakni I’tidal) sambil mengangkat kedua tangannya seperti di atas. Kemudian beliau sujud dan beliau letakkan kedua telapak tangannya setentang dengan kedua telinganya. Kemudian beliau duduk (duduk di sini dzahirnya duduk tahiyyat/tasyahhud bukan duduk di antara dua sujud karena Waail atau sebagian dari rawi meringkas hadits ini) lalu beliau menghamparkan kaki kirinya dan beliau letakkan telapak tangan kirinya di atas paha dan lutut kirinya dan beliau jadikan batas sikut kanannya di atas paha kanannya, kemudian beliau membuat satu lingkaran (dengan kedua jarinya yaitu jari tengah dan ibu jarinya), kemudian beliau mengangkat jari (telunjuk)nya, maka aku melihat beliau menggerak-gerakkannya beliau berdo’a dengannya’

(Berkata Waail), ‘Kemudian, sesudah itu aku datang lagi pada musim dingin, maka aku lihat manusia (para sahabat ketika mendirikan shalat bersama nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam) mereka menggerakkan tangan-tangan mereka dari dalam pakaian mereka lantaran sangat dingin (yakni mereka mengangkat kedua tangan mereka ketika takbir berdiri dan ruku’ dan seterusnya dari dalam pakaian mereka karena udara sangat dingin)’.”

Hadits tersebut diriwayatkan oleh :

1. Ahmad dalam Kitab al Musnad IV/318 dan telah meriwayatkan dari jalannya al Khathib al Baghdadi dalam Kitab al Fashlu lil Washlil Mudraj I/444.
2. al Bukhari dalam Kitab Qurratul ‘Ainain bi Raf’,il Yadain Fish Shalah hal. 27 no. 30 secara ringkas dan telah meriwayatkan dari jalannya al Khathib al Baghdadi dalam Kitab al Fashlu lil Washlil Mudraj I/445.
3. Abu Dawud dalam Kitab as Sunan I/178 no. 727, Bab Raf’ul yadain fish shalah.
4. an Nasai dalam Kitab as Sunan I/463 no. 888, Bab Maudhi’ul yamin minasy syimali fish shalah. Begitu pula dalam Kitab Sunanul Kubra I/256 no. 873.
5. Ibnu Hibban dalam Kitab ash Shahih, sebagaimana tercantum dalam kitab al Ihsan V/170-171 no. 1860.
6. Ibnu Khuzaimah dalam Kitab as Shahih I/234 no. 480 Bab Wadh’u bathni kaffil yusra rusghi was sa’id jamii’an.
7. ad Darimi dalam Kitab as Sunan I/230 no. 1357.
8. al Baihaqi dalam Kitab Sunanul Kubra II/189 no. 2787 Bab Man rawa annahu asyara biha wa lam yuharrik.
9. ath Thabrani dalam Kitab al Mu’jamul Kabir XXII no. 82 pada hadits Kulaib bin Syihab Abu ‘Ashim al Jarami dari Waa-il bin Hujr.
10. Ibnu Jarud dalam Kitab al Muntaqa no. 208 Bab Shifat shalatin Nabi ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam.

Semuanya telah meriwayatkan hadits ini dari satu jalan, yaitu dari jalan Zaa-idah bin Qudamah, dari Ashim bin Kulaib, dari ayahnya (Abu Ashim), dari Waa-il bin Hujr.

Hadits ini memiliki sebuah syahid (pendukung), dari Umar bin al Khaththab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

“Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa seperti ini dan Syuraih pun membentangkan telapak tangannya yang kiri dan ia berkata, ‘Dengan menggerakkan jari telunjuknya yang kanan.’”  (HR. Ibnu Adi dalam Kitab al Kaamil fidh Dhu’afa VI/267)

Ibnu Adi meriwayatkannya dari Ahmad bin Ja’far al Balkhi, dari Muhammad bin Umar al Bazzar, dari Syuraih bin an Nu’man dari Utsman bin Miqsam, dari ‘Alqamah bin Marsyad dari Zir bin Hubaisy dari Sa’id bin Abdurrahman dari ayahnya dari Umar bin al Khaththab.

Imam Ibnu Adi berkata tentang perawinya yang bernama Utsman bin Miqsam, “ …dan kesimpulannya (ia seorang perawi) yang lemah, akan tetapi bersamaan dengan kelemahan yang ada padanya, haditsnya boleh ditulis”, hal ini juga dikemukakan oleh Syaikh al Albani dalam Sifat Shalat Nabi ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam hal. 158-159]

Hadits Waa-il bin Hujr di atas telah disahkan oleh banyak ulama, diantaranya :

1. Imam Ibnu Khuzaimah, sebagaimana disebutkan oleh Syaikh al Albani dalam Sifat Shalat Nabi ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam hal. 158.
2. Imam Ibnu Hibban, juga sebagaimana disebutkan oleh Syaikh al Albani dalam Sifat Shalat Nabi ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam hal. 158.
3. Imam an Nawawi dalam Kitab Majmu’ Syarhil Muhadzdzab III/454.
4. Imam Ibnu ‘Abdil Bar telah mengisyaratkan tentang sahnya hadits ini dalam Kitabnya al Istidzkaar IV/262.
5. Sebagaimana juga Imam al Qurthubi telah menukil pen-shahih-an Ibnu Abdil Bar di atas dalam Tafsir-nya, ketika menafsirkan surat al Baqarah ayat 43.
6. Ibnul Mullaqqin dalam Khulashatu Badril Munir I/139 no. 646.
7. al Hafizh al Baihaqi telah menshahihkan, sebagaimana yang dikatakan oleh al Khaththib asy Syarbini dalam Kitab Mughnil Muhtaj I/255
8. Syaikhul Islam Ibnul Qayyim dalam Kitab Zaadul Ma’ad (I/239)
9. Syaikh al Albani telah menshahihkannya dalam banyak kitabnya, diantaranya : Shifat Shalat Nabi hal. 158, Tamamul Minnah hal. 214, Shahih Sunan Abi Dawud no. 717, Shahih Sunan an Nasai dan Irwaa-ul Ghalil no. 352.

Kesimpulan :

Hadits Wail bin Hujr dari jalan Zaaidah dari ‘Ashim adalah hadits Shahih sebagaimana keterangan diatas.

Pertanyaan :

“Bukankah ada sebagian ulama yang mendhoifkan hadits diatas dengan alasan tambahan lafadz yuharrikuha (يحركها) pada hadits tersebut adalah syadz karena Zaaidah bin Qudamah telah menyendiri dalam meriwayatkan lafadz يحركها?”

Maka dijawab: Shahih… ada sebagian ulama yang menyatakan hadits tersebut adalah hadits syadz karena tambahan lafadz يحركها. tidak diriwayatkan kecuali dari jalan Zaaidah bin Qudamah dari ‘Ashim bin Khulaib. Sedangkan setidaknya ada 22 rawi yang meriwayatkan hadits dari ‘Ashim bin Khulaib hanya dengan lafadz إشارة (Isyarat) tanpa ada tambahan يحركها. Dua puluh dua rawi tersebut adalah:

1. Bisyr bin Al-Mufadhdhal, riwayatnya dikeluarkan oleh Abu Daud 1/465 no.726 dan 1/578 no.957 dan An-Nasai 3/35 no.1265 dan dalam Al-Kubro 1/374 no.1188 dan Ath-Thobarany 22/37 no.86.
2. Syu’bah bin Hajjaj, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/316 dan 319, Ibnu Khuzaimah dalam Shohihnya 1/345 no.697 dan 1/346 no.689, Ath-Thobarany 22/35 no.83 dan dalam Ad-Du’a n0.637 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/430-431.
3. Sufyan Ats-Tsaury, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/318, An-Nasai 3/35 no.1264 dan Al-Kubro 1/374 no.1187 dan Ath-Thobarany 22/23 no.78.
4. Sufyan bin ‘Uyyainah, riwayatnya dikeluarkan oleh An-Nasai 2/236 no.1195 dan 3/34 no.1263 dan dalam Al-Kubro 1/374 no.1186, Al-Humaidy 2/392 no.885 dan Ad-Daraquthny 1/290, Ath-Thobarany 22/36 no.85 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/427.
5. ‘Abdullah bin Idris, riwayatnya dikeluarkan oleh Ibnu Majah 1/295 no.912, Ibnu Abi Syaibah 2/485, Ibnu Khuzaimah 1/353 dan Ibnu Hibban no.1936.
6. ‘Abdul Wahid bin Ziyad, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/316, Al-Baihaqy dalam Sunannya 2/72 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/434.
7. Zuhair bin Mu’awiyah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/318, Ath-Thobarany 22/26 no.84 dan dalam Ad-Du’a no.637 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/437.
8. Khalid bin ‘Abdillah Ath-Thahhan, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thohawy dalam Syarah Ma’any Al-Atsar 1/259, Al-Baihaqy 2/131 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/432-433.
9. Muhammad bin Fudhail, riwayatnya dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah 1/353 no.713.
10. Sallam bin Sulaim, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thoyalisi dalam Musnadnya no.1020, Ath-Thohawy dalam Syarah Ma’any Al-Atsar 1/259, Ath-Thobarany 22/34 no.80 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/431-432.
11. Abu ‘Awanah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/38 no.90 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/432.
12. Ghailan bin Jami’, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/37 no.88.
13. Qois bin Rabi’, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/33 no.79.
14. Musa bin Abi Katsir, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/37 no.89.
15. ‘Ambasah bin Sa’id Al-Asady, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/37 no.87.
16. Musa bin Abi ‘Aisyah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany dalam Ad-Du’a no.637.
17. Khallad Ash-Shaffar, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany dalam Ad-Du’a no. 637.
18. Jarir bin ‘Abdul Hamid, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/435.
19. ‘Abidah bin Humaid, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/435-436.
20. Sholeh bin ‘Umar, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/433.
21. ‘Abdul ‘Aziz bin Muslim, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/436-437.
22. Abu Badr Syuja’ bin Al-Walid, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/438-439.

Adapun hadits dengan lafadz Isyarat yang dimaksud adalah:

رأى النبي صلى الله عليه وسلم صلى فكبر فرفع يديه فلما ركع رفع يديه فلما رفع رأسه من الركوع رفع يديه وخوى في ركوعه وخوى في سجوده فلما قعد يتشهد وضع فخذه اليمنى على اليسرى ووضع يده اليمنى وأشار بإصبعه السبابة

“Aku melihat Nabi mengangkat kedua tangannya dalam shalat ketika takbir …… dan meletakkan tangan kirinya di atas lutut kirinya dan lengan tangan kanan di atas paha tangan kanannya, lalu berisyarat dengan jari telunjuknya …”  (HR. Ahmad IV/317, ath Thabrani 22/34/81 dan lainnya)

Maka dijawab:

Untuk mengetahui sebuah hadits syadz atau tidak kita harus melihat kembali apa itu definis syadz. Berikut adalah penjelasan dua imam besar tentang definisi syadz.

Pertama:

Syaikh al Albani berkata dalam mukadimah kitab beliau Tamamul Minnah tentang hadits syadz:
“Hadits syadz adalah (hadits) yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah yang diterima (periwayatannya, akan tetapi) periwayatannya menyelisihi periwayatan perawi yang lebih utama darinya, sebagaimana yang dipegang oleh para ahlul hadits, dan Ibnu ash Shalah pun telah menerangkan hal itu.

Apabila seorang perawi menyendiri dalam suatu periwayatan, maka harus diperiksa, dan jika perawi yang menyendiri tersebut menyelisihi periwayatan perawi yang lebih utama darinya dari segi hafalan atau pun kedhabitannya maka apa yang diriwayatkannya itu syadz dan tertolak.

Namun apabila dalam (tambahan periwayatannya itu) tidak ada perselisihan dengan apa yang diriwayatkan oleh yang lain, hanya saja ia meriwayatkan sesuatu yang tidak diriwayatkan oleh yang lainnya, maka diperiksa keadaan perawi yang menyendiri ini, jika ia adalah seorang perawi yang adil, hafizh, terpercaya dalam kekokohan serta kedhabitannya maka diterima apa yang ia riwayatkan secara menyendiri tersebut

 Kedua:

Ibnu Shalah dalam Al-Muqaddimah, halaman 86:

إذا انفرد الراوي بشئ نظر فيه ، فإن كان مما انفرد به مخالفا لما رواه من هو أولى منه بالحفظ أو أضبط ، كان ما انفرد به شاذا مردودأ ، وإن لم تكن فيه مخالفة لما رواه غيره وإنما رواه هو ولم يروه غيره ، فينظر في هذا الراوي إلمنفرد ، فإن كان عدلا حافظا موثوقأ وإتقانه وضبطه ، قبل ما انفرد به ، ولم يقدح الانفراد به ، وإن لم يكن ممن يوثق بحفظه وإتقانه لذلك الذي انفرد به ، كان انفراده خارما له مزحزحا له عن حيز الصحيح ، ثم هو بعد ذلك دائر بين مراتب متفاوتة بحسب الحال ، فإن كان المنفرد به غير بعيد من درجة الحافظ الضابط المقبول تفرده ، استحسنا حديثه ذلك ولم نحطه إلى قبيل الحديث الضعيف ، وإن كان بعيدا من ذلك رددنا ما انفرد به وكان من قبيل الشاذ المنكر . . ”

“Jika seorang perawi menyendiri dengan sesuatu, perlu diamati. Jika riwayat tunggalnya bertentangan dengan riwayat orang yang lebih baik dan kuat hafalannya, maka tergolong riwayat syadz dan tertolak. Jika riwayat tunggalnya tidak bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh orang lain, tetapi hanya dia sendiri yang meriwayatkan, sedang orang lain tidak, maka perlu diamati. Apakah perawi tunggal itu kuat hafalannya dan dapat dipercaya. (Jika yang terjadi seperti itu), maka diterimalah ia (dengan tambahan lafadhnya tersebut). Dan apabila ia tidak baik dan tidak kuat hafalannya, maka terputus dan terlempar jauh dari wilayah keshahihan. Dan setelah itu berada pada tingkat yang berbeda-beda sesuai keadaan. Artinya, jika perawi tunggal itu tidak jauh dari tingkat perawi lain yang kuat hafalan dan diterima kesendiriannya, maka kami golongkan hadits hasan dan kami tidak menjatuhkan pada kelompok hadits dla’if. Tetapi jika tidak, kami golongkan riwayat tunggal itu kepada hadits syadz yang munkar (teringkari)”. —- selesai perkataan Ibnu Shalah —–

Setelah mengetahui definisi tentang hadits syadz di atas maka dua hal yang harus kita lakukan untuk memeriksa apakah hadits Zaaidah bin Qudamah tersebut syadz atau tidak:

Pertama: Memeriksa kondisi perawi hadits tersebut yang diperselisihkan oleh para ulama, dalam hal ini adalah Zaa-idah bin Qudamah. Berikut keterangan dua Imam hadits tentang Zaa-idah bin Qudamah:

1. al Hafizh Ibnu Hajar al Asqalani dalam Taqribut Tahzib no. 1046 berkata, “(Zaa-idah bin Qudamah ini) tsiqatun tsabtun (yakni seorang perawi yang tsiqah lagi tsabit/kuat)”

2. Imam Ibnu Hibban berkata dalam Kitab ats Tsiqat VI/239-240, “Ia (Zaa-idah bin Qudamah) termasuk dari imam yang mutqin, ia tidak menganggap suatu pendengaran, kecuali setelah mengulanginya sebanyak tiga kali dan ia tidak dan ia tidak memuji seorang pun kecuali mereka yang telah disaksikan keadilannya oleh seseorang (imam) dari Ahlus (Sunnah)”

Berkata Syaikh al Albani, “Oleh karena itu tidak mudah bagi kita untuk menganggap syadz riwayat yang disampaikan oleh Zaa-idah (bin Qudamah) ini, khususnya periwayatan yang ia terima dari gurunya ‘Ashim bin Kulaib dari bapaknya. karena apabila kita menganggap syadz, maka niscaya akan banyak sekali riwayat – riwayat yang harus dihukumi seperti itu” (Dinukil dari kaset Imam al Albani yang berjudul Laa Qusyura fil Islam no. 167/8037 al Istiqamah)

Demikianlah pendapat para Imam hadits tentang Zaa-idah bin Qudamah, yang artinya adalah periwayatan hadits yang dilakukan olehnya dapat diterima.

Kedua : Memeriksa apakah ada pertentangan antara lafadz tahrik bertentangan dengan lafadz Isyarat ? Jawaban yang tepat bahwasanya tidak ada pertentangan antara lafadz tahrik dan isyarat baik ditinjau secara lughoh maupun dari dalil.
Dari segi bahasa dapat difahami bahwa isyarat itu terkadang disertai dengan gerak dan terkadang tanpa disertai dengan gerak (jadi disini yang terjadi bukan pertentangan lafazh, tetapi hanya permasalahan lafazh umum dan lafazh khusus). Syaikh Al ash Sha’idi al ‘Adawi al Maliki dalam Kitab Hasyiyah al ‘Adawi ‘ala Syarbi Kifayatut Thalibur Rabbani I/356 berkata,

“Bahwa lafazh isyarat itu lebih umum daripada lafazh tahrik, mungkin berisyarat dengan cara menggerakkan (atau) mungkin tidak”.

Dan apabila ditinjau dari segi dalil, maka ada suatu hadits yang menarik untuk dibahas yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang kisah shalatnya para shahabat di belakang Rasulullah dengan cara berdiri, padahal Rasulullah shalat sambil dalam keadaan duduk, maka beliau pun mengisyaratkan kepada mereka untuk duduk semua (HR. al Bukhari dan Muslim)

Hadits yang dimaksud adalah:

حدثنا عبد الله بن يوسف قال أخبرنا مالك عن هشام بن عروة عن أبيه عن عائشة أم المؤمنين أنها قالت صلى رسول الله صلى الله عليه وسلم في بيته وهو شاك فصلى جالسا وصلى وراءه قوم قياما فأشار إليهم أن اجلسوا فلما انصرف قال إنما جعل الإمام ليؤتم به فإذا ركع فاركعوا وإذا رفع فارفعوا وإذا صلى جالسا فصلوا جلوسا

Setiap orang pasti dapat dengan cepat memahami dari lafazh hadits tersebut bahwasannya isyarat beliau tidak hanya dengan mengangkat tangan saja, akan tetapi isyarat tersebut juga mengandung gerakan untuk menyuruh para sahabat agar shalat dalam keadaan duduk.

Ringkasnya adalah isyarat tidak menafikan atau meniadakan tahrik, maka pernyataan bahwa isyarat itu bertentangan dengan tahrik adalah tidak benar jika ditinjau dari segi lughah dan dalil.

Sehingga di dalam kitab Tamamul Minnah Syaikh al Albani memberikan kesimpulannya, “Menolak otensitas gerakan telunjuk dalam riwayat terkucil dari Zaid bin Qudamah tanpa perawi – perawi ‘Ashim bin Kulaib yang lain adalah suatu kesalahan besar karena dua alasan, Pertama : Mereka meriwayatkan isyarat dan isyarat tidak bisa menafikan adanya gerakan jari, Kedua : Kejujuran Zaidah (bin Qudamah) dan karena sudah tua, ia sangat teliti dalam meriwayatkan hadits. Para imam sepakat memberikan kesaksian atas dapat dipercayainya dan al Bukhari – Muslim pun berhujjah dengannya”

Kesimpulan: Bahwasanya hadits tahrik Zaaidah bin Qudamah bukanlah hadits syadz, justru hadits inilah yang menjelaskan tentang keumumam lafadz isyarat dalam hadits yang diriwayatkan dari selain Zaaidah bin Qudamah. Allahu A’lam

Pertanyaan: “Ada beberapa hadits yang justru menjelaskan bahwasanya Rasulullah Shollallahu Alaihi Sallam tidak menggerak-gerakkan jari (لا يحركها ), bagaimana penjelasannya ?”

Maka dijawab: Memang benar ada beberapa hadits yang menjelaskan bahwa Rasulullah Shollallahu Alaihi Sallam tidak menggerak-gerakkan jari (لا يحركها ) , setidaknya ada dua buah hadits yaitu hadits Abdullah bin Zubair dan Ibnu Umar Radhiyallahu Anhum. Hadits tersebut adalah :

Hadits Pertama : Hadits Abdullah bin Zubair, yakni:

حدثنا حجاج عن بن جريج عن زياد عن محمد بن عجلان عن عامر بن عبد الله عن عبد الله بن الزبير أنه ذكر أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يشير بأصبعه إذا دعا ولا يحركهاقال بن جريج وزاد عمرو بن دينار قال أخبرني عامر عن أبيه أنه رأى النبي صلى الله عليه وسلم يدعو كذلك ويتحامل النبي صلى الله عليه وسلم بيده اليسرى على فخذه اليسرى

Diriwayatkan dari Hajjaj dari Ibnu Juraij dari Ziyad dari Muhammad bin Ajlan dari Amir bin Abdillah dari Abdullah bin Zubair, sesungguhnya ia menerangkan, ” Bahwasanya Nabi Shollallahu Alaihi wa Sallam berisyarat dengan jari (telunjuk)nya apabila beliau berdoa dan ia tidak menggerak-gerakkannya.” Berkata Ibnu Juraij, “Dan Amr bin Dinar menambahkan, ia berkata, ‘Telah mengkhabarkan kepadaku Amir dari bapaknya (Abdullah bin Zubair) : Sesungguhnya ia telah melihat Nabi Shollallahu Alaihi wa Sallam berdoa seperti itu dan beliau meletakkan tangan kirinya di atas paha kirinya.’ “ (HR Abu Dawud no 989)

Hadits Semakna juga diriwayatkan oleh Imam An Nasa’i dan Imam Baihaqi, berikut haditsnya :

Riwayat Imam Nasa’i 3/32:

حدثنا حجاج قال بن جريج أخبرني زياد عن محمد بن عجلان عن عامر بن عبد الله بن الزبير عن عبد الله بن الزبير أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يشير بأصبعه إذا دعا ولا يحركها

Riwayat Imam Baihaqi 2/131-132:

أخبرنا حجاج بن محمد قال قال بن جريج أخبرني زياد عن محمد بن عجلان عن عامر بن عبد الله بن الزبير عن عبد الله أنه ذكر أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يشير بأصبعه إذا دعا لا يحركها

Keterangan dan Takhrij Hadits :

1. Hajjaj disini ialah Hajjaj bin Muhammad sebagaimana yang tercantum di sanad Baihaqi yang lengkapnya : Hajjaj bin Muhammad al Mishishi. ( المصيصي حجاج بن محمد )

2. Ziyad disini adalah Ziyad bin Sa’ad bin Abdurrahman (زياد بن سعد بن عبد الرحمن ), seorang rawi yang tsiqat dan tsabit ( Taqribut Tahzhib 1/268 & Tahdzibut Tahdzib 3/369-370)

3. Perkataan Ibnu Juraij ” Dan Amr bin Dinar menambahkan, ia berkata, ‘Telah mengkhabarkan kepadaku Amir dari bapaknya dan seterusnya.” Menunjukkan bahwa Ibnu Juraij terima dari dua rawi :
a. Pertama, Ziyad dengan lafadz tegas “telah mengkhabarkan kepadaku” (أخبرني ). Coba lihat riwayat Imam Nasa’i dan Imam Baihaqi diatas.
b. Kedua, Amr bin Dinar dengan lafadz tadlisnya ” ia berkata” (قال ). Coba lihat riwayat Imam Abu Dawud diatas.

4. Demikian juga ada dua orang rawi yang terima dari Amir bin Abdullah yaitu Muhammad bin Ajlan dan Amr bin Dinar.

Jelasnya, hadits ini diriwayatkan dari Amir bin Abdillah dari bapaknya Abdullah bin Zubair dengan dua jalan.

Jalan pertama :
  • · حجاج Hajjaj –
  • · بن جريج Ibnu Juraij –
  • · زياد Ziyad –
  • · محمد بن عجلان Muhammad bin Ajlan -
  • · عامر بن عبد اللهAmir bin Abdillah –
  • · Abdullah bin Zubair – عبد الله بن الزبير
Dengan Lafadz : أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يشير بأصبعه إذا دعا ولا يحركها ” Bahwasanya Nabi Shollallahu Alaihi wa Sallam berisyarat dengan jari (telunjuk)nya apabila beliau berdoa dan ia tidak menggerak-gerakkannya.”

Pada jalan ini terdapat dua illat/penyakit, yaitu :

Pertama : Hajjaj bin Muhammad, meskipun ia seorang rawi yang tsiqat dan tsabit, tetapi di akhir umurnya ia telah ikhtilat (bercampur atau telah berubah hafalannya). Dan dalam keadaan demikian ia masih saja menceritakan hadits. Sedangkan dalam riwayat ini tidak diketahui atau diragukan apakah ia meriwayatkan sebelum ikhtilat atau sesudahnya ? terhadap riwayat yang demikian hukumnya didiamkan atau dianggap lemah selama belum ada keterangan yang tegas atau ada rawi lain yang tsiqat yang menyetujui riwayatnya. Kenyataannya riwayat Hajjaj bin Muhammad telah menyendiri sehingga kalau kita periksa riwayat-riwayat dari Amir bin Abdillah dari Abdullah bin Zubair tidak kita dapati tambahan لا يحركها kecuali dari jalan Hajjaj ini ( Baca Tahdzibut Tahdzib 2/205-206 dan Taqribut Tahzhib 1/154)

Kedua : Muhammad bin Ajlan, rawi ini telah dianggap tsiqat oleh imam-imam : Ahmad, Ibnu Ma’in, Abu Hatim, Abu Zur’ah, Nasa’i, al Ijli, As Saji, Ibnu Saad dan Ibnu Hibban dan lain-lain. Rawi yang dipakai oleh imam-imam : Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah dan lain-lain. Adapun Imam Bukhari tidak memakainya dikitab Shahihnya sebagai ‘dasar atau hujjah’ kecuali dipakai di riwayat-riwayat muallaq sebagaimana telah diterangkan oleh al Hafizh Ibnu Hajar di Muqaddimah Faathul Baari hal 458.

Muhammad bin Ajlan ini meskipun ia seorang rawi tsiqat, tetapi ia juga seorang mudallis dan telah disifatkan tadlisnya oleh Ibnu Hibban, Ibnu Abi Hatim dan lain-lain. Al Hafidz Ibnu Hajar dikitabnya Thabaqaatul Mudallisin hal 69 telah memasukkannya di martabat ketiga dari rawi-rawi mudallis, yaitu tentang seorang mudallis yang sering melakukan tadlis dan tidak dijadikan hujjah hadits-hadits mereka oleh para imam kecuali mereka menegaskan didalam hadits mereka yang menunjukkan mereka mendengar. Sedangkan dalam hadits diatas Muhammad bin Ajlan telah meriwayatkan dengan lafadz tadlisnya yaitu ia ber-‘an’anah (memakai lafadz عن), dengan demikian riwayatnya tidak dapat diterima.

Pertanyaan : “Bukankah di Musnad Imam Ahmad, Muhammad bin Ajlan telah meriwayatkan dari Amir bin Abdillah dengan lafadz yang tegas yaitu : telah menceritakan kepadaku (حدثني) yang menunjukkan ia betul telah mendengar dan sekaligus hilanglah tadlisnya ?

Maka dijawab : ”Betul”, untuk lebih jelasnya silahkan lihat hadits berikut :

عن يحيى بن سعيد عن بن عجلان قال حدثني عامر بن عبد الله بن الزبير عن أبيه قال كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا جلس في التشهد وضع يده اليمنى على فخذه اليمنى ويده اليسرى على فخذه اليسرى وأشار بالسبابة ولم يجاوز بصره إشارته

Dari Yahya bin Said dari Ibnu Ajlan, ia berkata, ” Telah menceritakan kepadaku Amir bin Abdillah bin Zubair, dari bapaknya (Abdullah bin Zubair), ia berkata , ‘Adalah Rasulullah Shollallahu Alaihi wa Sallam biasa apabila duduk tasyahud ia letakkan tangan kanannya diatas paha kanannya dan tangan kirinya diatas paha kirinya sambil ia berisyarat dengan jari telunjuknya, sedangkan pandangannya tidak melampaui isyaratnya. (Dikeluarkan oleh Ahmad 4/3, Abu Dawud 990, Nasa’i 3/33 dan Ibnu Khuzaimah 718 dan ini adalah lafadz Ahmad. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Albani)

Pertanyaan: Adakah di hadits diatas disebut tambahan لا يحركها ? jawabnya, tidak ada ! maka sebetulnya hadits diatas menjadi hujjah yang memperkuat bahwa lafadz لا يحركها adalah syadz karena menyalahi rawi-rawi yang meriwayatkan dari Muhammad bin Ajlan sendiri seperti : Yahya bin Said (hadits diatas), Abu Khalid al Ahmar, Laits (Muslim 2/90 dan Ibnu Hibban 1934) dan lain-lain. Dan menunjukkan bahwasanya lafadz لا يحركها tidak datang kecuali dari jalan Hajjaj dan Ibnu Juraij sebagai illat yang lain bagi hadits ini.

Jalan Kedua :
  • · حجاج Hajjaj –
  • · Ibnu Juraij – بن جريج
  • · عمرو بن دينار Amr bin Dinar –
  • · Amir bin Abdillah – عامر بن عبد الله
  • · Abdullah bin Zubair – عبد الله بن الزبير
Dengan lafadz, أنه رأى النبي صلى الله عليه وسلم يدعو كذلك ويتحامل النبي صلى الله عليه وسلم بيده اليسرى على فخذه اليسرى “Sesungguhnya ia telah melihat Nabi Shollallahu Alaihi wa Sallam berdoa seperti itu dan beliau meletakkan tangan kirinya di atas paha kirinya.’ “

Pada jalan inipun terdapat dua illat, yaitu :

Pertama : Hajjaj bin Muhammad sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya

Kedua : Tadlisnya Ibnu Juraij dengan lafadz قال . Sudah maklum bahwsanya Ibnu Juraij adalah seorang rawi yang tsiqat akan tetapi mudallis dan telah disifatkan tadlisnya oleh banyak imam diantaranya : Ahmad bin Hambal, Nasa’i, Daruquthni, Ibnu Hibban dan lain-lain.Yahya bin Said berkata tentang Ibnu Juraij : Jika Ibnu Juraij didalam riwayatnya menggunakan lafadz حدثني maknanya ia telah mendengar hadits itu secara langsung dari Syaikh/gurunya. Dan apabila ia menggunakan lafadz أخبرني menunjukkan ia yang membaca dihadapan gurunya. Kalau ia meriwayatkan dengan lafadz قال maka disamakan dengan angin yakni tidak diterima riwayatnya

Walhasil dari uraian diatas tahulah kita bahwasanya hadits Abdullah bin Zubair dengan tambahan lafadz لا يحركها adalah hadits dhoif. Allahu A’lam

Hadits Kedua : Hadits Ibnu Umar 

حدثنا عمر بن محمد الهمداني ثنا زيد بن أخزم ثنا أبو عامر العقدى ثنا كثير بن زيد عن مسلم بن أبى مريم عن نافع عن بن عمر أنه كان يضع يده اليمنى على ركبته اليمنى ويده اليسرى على ركبته اليسرى ويشير بإصبعه ولا يحركها ويقول إنها مذبة الشيطان ويقول كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يفعله

“Dari Ibnu ‘Umar -radhiyallahu ‘anhu- adalah beliau meletakkan tangan kanannya di atas lutut kanannya dan (meletakkan) tangan kirinya di atas lutut kirinya dan beliau berisyarat dengan jarinya dan tidak menggerakkannya dan beliau berkata : “Sesungguhnya itu adalah penjaga dari Syaithon”. Dan beliau berkata : “Adalah Rasulullah Shollallahu Alaihi wa Sallam mengerjakannya”. ( Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Ats-Tsiqot 7/448)

Keterangan dan Takhrij Hadits :

Seluruh rawi sanad Ibnu Hibban tsiqoh (terpercaya) kecuali Katsir bin Zaid. Para ulama ahli jarh dan ta’dil berbeda pendapat tentangnya. Dan kesimpulan yang disebutkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar sudah sangat tepat menjelaskan keadaannya. Ibnu Hajar berkata : shoduq yukhti (jujur tapi banyak bersalah), makna kalimat ini Katsir adalah dho’if tapi bisa dijadikan sebagai pendukung atau penguat. Ini ‘illat (cacat) yang pertama. Illat yang kedua ternyata Katsir bin Zaid telah melakukan dua kesalahan dalam hadits ini.

Pertama : Dalam riwayatnya Katsir bin Zaid meriwayatkan dari Muslim bin Abi Maryam dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar. Dan ini merupakan kesalahan yang nyata, sebab tujuh rawi tsiqoh juga meriwayatkan dari Muslim bin Abi Maryam tapi bukan dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar, akan tetapi dari ‘Ali bin ‘Abdirrahman Al-Mu’awy dari Ibnu ‘Umar. Tujuh rawi tersebut adalah :

1. Imam Malik, riwayat beliau dalam Al-Muwaththa’ 1/88, Shohih Muslim 1/408, Sunan Abi Daud no.987, Sunan An-Nasai 3/36 no.1287, Shohih Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no.193, Musnad Abu ‘Awanah 2/243, Sunan Al-Baihaqy 2/130 dan Syarh As-Sunnah Al-Baghawy 3/175-176 no.675.

2. Isma’il bin Ja’far bin Abi Katsir, riwayatnya dikeluarkan oleh An-Nasai 2/236 no.1160, Ibnu Khuzaimah 1/359 no.719, Ibnu Hibban no.1938, Abu ‘Awanah 2/243 dan 246 dan Al-Baihaqy 2/132.

3. Sufyan bin ‘Uyainah, riwayatnya dikeluarkan oleh Muslim 1/408, Ibnu Khuzaimah 1/352 no.712, Al-Humaidy 2/287 no.648, Ibnu Abdil Bar 131/26.

4. Yahya bin Sa’id Al-Anshary, riwayatnya dikeluarkan oleh Imam An-Nasai 3/36 no.1266 dan Al-Kubro 1/375 no.1189, Ibnu Khuzaimah 1/352 no.712.

5. Wuhaib bin Khalid, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 273 dan Abu ‘Awanah 2/243.

6. ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad Ad-Darawardy, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Humaidy 2/287 no.648.

7. Syu’bah bin Hajjaj, baca riwayatnya dalam ‘Ilal Ibnu Abi Hatim 1/108 no.292.

Kedua: Dalam riwayatnya Katsir bin Zaid menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) dan ini merupakan kesalahan karena dua sebab :

1. Tujuh rawi yang tersebut di atas dalam riwayat mereka tidak menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan).

2. Dalam riwayat Ayyub As-Sikhtiany : ‘Ubaidullah bin ‘Umar Al-‘Umary dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar juga tidak disebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan). Baca riwayat mereka dalam Shohih Muslim no.580, At-Tirmidzy no.294, An-Nasai 3/37 no.1269, Ibnu Majah 1/295 no.913, Ibnu Khuzaimah 1/355 no.717, Abu ‘Awanah 2/245 no.245, Al-Baihaqy 2/130 dan Al-Baghawy dalam Syarh As-Sunnah 3/174-175 no.673-674 dan Ath-Thobarany dalam Ad-Du’a no.635.

Nampaklah dari penjelasan di atas bahwa hadits ini adalah hadits Mungkar. Wallahu A’lam.

Kesimpulan: Dari uraian diatas maka pendapat yang tepat tentang hadits لا يحركها adalah Dhoif. Allahu A’lam.

Pertanyaan: “Kita dapati ada sebagian ulama yang menshahihkan hadits لا يحركها seperti Imam Nawawi dalam majmu’.”

Maka dijawab: Nyatanya hadits tersebut adalah dhoif sebagaimana penjelasan yang telah lalu. Kalaupun ada yang menganggap bahwasanya hadits diatas Shahih (walaupun pendapat yang lebih rajih bahwasanya hadits tersebut dhoif) maka hadits لا يحركها adalah Nafi’ sedangkan hadits يحركها adalah Musbit, sedangkan sudah ma’ruf dikalangan para Ulama akan kaidah المثبت مقدم على النافي ” Yang menetapkan (adanya gerak jari) didahulukan daripada yang meniadakan (tidak ada gerak jari). Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh dua imam besar yaitu :

Pertama: al-Imam Ibnul Qayyim dikitabnya Zaadul Ma’aad 1/238-239 di ta’liq oleh Abdul Qadir Arnauth dan Syuaib Arnauth, beliau berkata:

وأما حديث أبي داود عَنْ عبد اللّه بن الزبير أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يُشير بأصبعه إذا دعا ولا يُحركها فهذه الزيادة في صحتها نظر، وقد ذكر مسلم الحديث بطوله في ((صحيحه))عنه، ولم يذكر هذه الزيادة، بل قال: كان رسولُ اللّه صلى الله عليه وسلم إذا قَعَدَ في الصلاة، جعل قدمَه اليسرى بين فخذه وساقه، وفرش قدمه اليُمْنى، ووضع يَدَه اليُسرى على رُكبته اليسرى، ووضع يده اليمنى على فخذه اليمنى، وأشار بأصبعه.
وأيضاً فليس في حديث أبي داود عنه أن هذا كان في الصلاة.
وأيضاً لو كان في الصلاة، لكان نافياً، وحديث وائل بن حُجر مثبتاً،وهو مقدَّم، وهو حديث صحيح، ذكره أبو حاتم في ((صحيحه)).

Adapun hadits Abu Dawud dari Abdullah bin Zubair, Bahwa Nabi Shollallahu Alaihi wa Sallam berisyarat dengan jari (telunjuk)nya apabila beliau berdoa dan tidak menggerak-gerakannya. Maka tambahan (tidak menggerak-gerakkan) perlu diteliti keshahihannya. Karena sesungguhnya Imam Muslim telah menyebut hadits ini dengan panjang di(kitab) Shahihnya dari Abdullah bin Zubair dan ia tidak menerangkan tambahan ini, tetapi Abdullah bin Zubair berkata : “Adalah Rasulullah Shollallahu Alaihi wa Sallam apabila duduk di dalam sholat, ia jadikan kaki kirinya diantara paha dan betisnya dan ia hamparkan telapak kaki kanannya, dan ia letakkan tangan kirinya diatas lutut kirinya dan ia letakkan tangan kanannya diatas paha kanannya sambil beliau berisyarat dengan jari (telunjuk)nya.
Lagi pula, pada hadits Abu Dawud dari Abdullah bin Zubair ini tidak menunjukkan di dalam sholat. Kalaupun memang di dalam sholat keadaannya sebagai nafi’ (meniadakan menggerak-gerakkan) sedangkan hadits Wail bin Hujr mutsbit (menetapkan adanya menggerak-gerakkan jari) dan mutsbit didahulukan, dan hadits Wail adalah hadits Shahih telah diterangkan oleh Abu Hatim (Ibnu Hibban) di kitab Shahihnya.


Penta’liq kitab Zaadul Ma’aad mengatakan tentang hadits Wail, sanadnya Shahih dan telah dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban. Tentang Abdullah bin Zubair dikatakan “Sanadnya hasan dan telah dishahihkan oleh an Nawawi di Majmu’ “

Kedua : Ahli Hadits besar Syaikh Albani di kitabnya Sifat Sholat Nabi hal 170, beliau mengatakan:

وحديث أنه كا ن لايحركهالا يثبت من قبل إسنا د ه كما حققته في ” ضعيف أبي داود ” ولو ثبت فهو نافي و حد يث الباب مثبت و المثبت مقدم على النافي كما هو معروف عند العلماء

Dan bahwasanya beliau tidak menggerak-gerakkan jari telunjuknya, tidaklah tsabit (tetap/kuat) dari jurusan sanadnya sebagaimana telah saya terangkan di Dhoif Abu Dawud, dan kalaupun tsabit, maka dia itu nafi’ (meniadakan), sedangkan hadits dalam bab ini (maksudnya hadits Wail) mutsbit (menetapkan adanya menggerak-gerakkan jari). Dan yang mutsbit itu didahulukan atas nafi’ sebagaimana telah ma’ruf dikalangan para ulama. 

Kesimpulan: Bahwasanya menggerak-gerakkan jari telunjuk waktu Tasyahud adalah merupakan Sunnah Rasulullah Alaihi Sholatu Wa Sallam, karena telah tsabit dari beliau akan keterangannya. Oleh karena itu hendaklah kita menjaga dan melaksanakan segala sesuatu yang merupakan Sunnah Rasulullah Alaihi Sholatu Wa Sallam. Allahu A’lam

Al Faqir Abu Aufa

Maraji’ :

1. Menggerakan Jari Telunjuk Ketika Tasyahud, Ustadz Ibnu Saini bin Muhammad bin Musa, Pustaka Abdullah, Jakarta, Cetakan Pertama, Rajab 1425 H/Agustus 2004 M.
2. Terjemah Tamamul Minnah, Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani, Maktabah Salafy Press, Tegal, Cetakan Pertama, Jumadits Tsani 1422 H/September 2001 M.
3. Al Masaail jilid ke-2, Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat, Daarus Sunnah, Jakarta
4. Kedudukan Hadits menggerakkan jari telunjuk ketika tasyahud, Ustadz Dzulqarnain bin Sanusi, An-Nashihah.com melalui blog akh Abu Maulid As Salafy di http://antosalafy.wordpress.com/2007/04/03/kedudukan-hadits-menggerakkan-jari-telunjuk ketika-tasyahud/

http://aliph.wordpress.com/2007/07/26/kok-gerak-gerak-jari-telunjuk/

Sifat Gerakan Telunjuk Ketika Tasyahhud
(Oleh: Syaikh al-Muhaddits Abu Ishaq al-Huwaini)

TRANSKRIP :

Tahrîk al-Ishba’ (menggerakkan jari telunjuk) sebagaimana yang ditunjukkan oleh guru kami al-Albânî rahimahullâhu. Saya pernah sholat di samping beliau pada suatu hari, lalu aku menggerakkan jari (telunjukku) seperti ini. Saya melakukannya seperti ini (yaitu menaikturunkan jari telunjuk. Lihat video pada detik 0:18-0:20, pen). Lalu, setelah kami selesai sholat, beliau (Syaikh al-Albânî) berkata kepadaku :

هل قرأت شيئا يوفق هذه الحركة؟

“Apakah Anda pernah membaca sesuatu yang mendukung gerakan seperti ini?”

Subhânallôh. Saya benar-benar terkesan dengan adab (etika) syaikh rahimahullôhu terhadapku. Beliau tidak dengan serta merta mengkritik diriku atau perkataanku, (dengan mengatakan) “apa yang kamu lakukan?”… tidak!!! Namun beliau bertanya kepadaku, apakah saya memiliki sandaran/dasar di dalam melakukan gerakan seperti ini (yaitu naik dan turun).

Saya mengatakan, “tidak, hanya saja saya pernah membacanya di dalam buku Anda, Shifat Sholâh an-Nabî, bahwa Nabi Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam biasa menggerakkan (jari telunjuknya), maka saya pun turut menggerakkan (jari telunjukku).”

Beliau (Syaikh al-Albânî) mengatakan : “Tidak, hal ini (gerakan yang Anda lakukan) namanya bukanlah tahrîk (menggerakkan jari telunjuk) namun namanya adalah al-Khafdh war Raf’u (mengangkat dan menurunkan jari telunjuk).”

Namanya apa? Namanya adalah al-Khafdh war Raf’u.

Lantas saya bertanya, “bagaimana cara saya menggerakkannya wahai guru kami?”. Beliau menjawab “beginilah caranya”, yaitu beliau meletakkan jarinya di atas lutut dan mengarahkan jari telunjuknya ke arah kiblat, seperti ini (lihat menit 1:04, pen) lalu beliau menggerakkan jari (telunjuknya) secara kuat di tempatnya (harokatan syadidatan fî makânihi). Bukan menggerakkannya naik turun sehingga berpaling dari kiblat. Namun, (lakukanlah) seperti ini (lihat menit ke 1:11-1:14), jari telunjuk mengarah ke kiblat lalu gerakkan secara kuat seperti ini (lihat menit ke 1:14-1:17).

Beginilah sifat tahrîk (menggerakkan) jari telunjuk sebagaimana yang pernah saya lihat dari guru kami, al-Albânî rahmatullâhu ‘alaihi.

"http://abusalma.wordpress.com/2009/02/23/video-sifat-gerakan-telunjuk-ketika-tasyahhud/

‘Ubadah bin ‘Abdul Lathif bin Muhammad Nashiruddin al-Albani bertanya kepada kakeknya (Syaikh al-Albani) pada bulan-bulan terakhir sebelum wafatnya, “Siapakah di antara dua orang yang lebih utama dalam ilmu hadits?” Beliau menjawab: “Ali Hasan al-Halabi dan Abu Ishaq al-Huwaini.” (Shafahat hal. 52. Lihat Biografi Syaikh Al-Albani Mujaddid dan Ahli Hadits Abad ini)

Semoga bermanfaat...

-Sahabatmu-
Abu Muhammad Herman

APA YANG MEREKA DENDAMKAN TERHADAP NEGERI HARAMAIN? (Oleh: Syaikh Muhammad Musa Al-Nasr hafizhahullah)




Banyak sekali orang yang dengki dan dendam dengan biladul haramain (negeri dua tanah suci) Kerajaan Arab Saudi. Mereka mencela dan menghujatnya dikarenakan pemerintah yang menjalankan negeri ini adalah suatu kaum yang mereka sebut dengan nama ”Wahhabi”.

Tentu saja mereka merasa dendam, dengki dan marah kepada Wahhabi, karena mereka tidak bisa tenang melaksanakan kesesatan dan kebid’ahannya apabila dakwah wahabiyah ini masih ada. Untuk menciptakan tanfir (larinya manusia dari kebenaran), mereka membuat istilah-istilah bid’ah, menyematkan istilah Wahhabi kepada siapa saja yang menyerukan tauhid murni, tidak hanya sampai di sana, mereka fitnah dan buat kedustaan atas negeri ini.

Di lain fihak, atas ulah sebagian oknum yang terdidik dengan jiwa terorisme dan khowarij, mereka mengaku-ngaku sebagai pengikut dakwah Syaikhul Islam Muhammad bin ’Abdul Wahhab, namun mereka melakukan takfir, irhab, tafjir dan tadmir di negara-negara muslim atapun negeri kafir. Sehingga akhirnya biladul haramain pun dicap sebagai negerinya sarang teroris. (Abu Salma)

Syaikh Musa Nashr hafizhahullahu berkata :

Allah telah menjadikan negeri Makkah dan Madinah sebagai tempat yang aman hingga hari kiamat, semenjak Allah memerintahkan kepada kekasih-Nya nabi Ibrahim agar mengumumkan kepada manusia untuk menunaikan ibadah haji, mereka datang ke Baitul Haram (Ka’bah) dari segala penjuru negeri ; sebagaimana Allah berfirman:

“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka.”‌ [Al-Haj : 27]

Dan Allah berfirman sembari memberi nikmat kepada penduduk negeri Haramain:

“Dan apakah Kami tidak meneguhkan kedudukan mereka dalam daerah Haram (tanah suci) yang aman, yang didatangkan ke tempat itu buah-buahan dari segala macam (tumbuh-tumbuhan).”‌ [Al-Qashas : 57]

Demikianlah firman-Nya:

“Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka’bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.”‌ [Al-Quraisy : 3-4]

Pelajaran dalan ayat itu diambil dari keumuman lafadh, (dan) bukan dari kekhususan sebab, walaupun sebagian ayat ini turun pada kaum musyrikin Makkah, hanya saja ayat ini mencakup kepada penduduk Makkah hingga hari kiamat. Demikianlah Allah berkehendak untuk rumah-Nya agar senantiasa menjadi tempat dengan kedamaian dan keamanan, agar orang yang berhaji, berumrah dan orang yang berkunjung datang ke negeri itu dengan tanpa merasa takut dan gelisan.

Akan tetapi (kaum Khawarij modern) para da’i dan penyeru peledakan tidak ingin suasana seperti itu terjadi, tetapi yang mereka inginkan adalah kegoncangan keamanan negeri Al-Haramain. Mereka melanggar ayat-ayat dan hadits-hadits yang memperingatkan akan larangan mengganggu kaum muslimin, menakut-nakuti dan membunuh mereka ! Maka bagaimanakah jika hal itu (yaitu mengganggu, menakut-nakuti dan membunuh kaum muslimin) terjadi di bumi yang paling suci dan paling mulia di muka bumi ini, yaitu negeri Makkah yang aman dan daerah sekitarnya ?!

Allah berfirman:

“Dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara zalim, niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebahagian siksa yang pedih.”‌ [Al-Haj : 25]

Sesungguhnya hanya sekedar berniat melakukan kejahatan di Makkah adalah sebuah kejahatan dan dosa yang besar, maka bagaimanakah dengan mereka yang menumpahkan darah yang haram di negeri Al-Haram ?

Bagaimanakah halnya orang yang meletakkan dan menaruh senjata dan bahan peledak dalam tumpukan mushaf Al-Qur’an, dan menyangka bahwasanya hal ini adalah jihad dan pengorbanan ?

Sesungguhnya orang-orang yang dhalim itu, yang berusaha membuat kerusakan di negeri Al-Haramain (Saudi Arabia) dan negeri Islam lainnya, pada hakikatnya mereka itu adalah orang-orang yang berkhidmat (pada) musuh-musuh Islam dari kalangan Yahudi dan Nashara serta seluruh musuh-musuh Islam, karena musuh-musuh Islam itu bergembira dan menabuh genderang bahkan menari-nari ketika gangguan menimpa negeri Islam, khususnya negeri Islam, yang memelihara dan menjaga Makkah dan Madinah, negara yang menyebarkan aqidah Tauhid di negeri Arab dan selain negeri Arab.

Maka kenapa penyerangan yang keji ini dilakukan dari dalam dan dari luar, atas negeri Al-Haramain ? Karena Saudi Arabia adalah benteng terakhir bagi Islam, dan karena di negeri itu pula ditegakkan syariat Allah di atas asas Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya, dan karena di negeri itu disebarkan tauhid di segenap penjuru bumi. Maka (negeri ini) harus diperangi serta dilemahkan, dan disibukkan dengan fitnah-fitnah !! (Negeri itu) harus digoncangkan keamanannya, karena kegoncangan kepercayaan pada negeri itu dan menampakkannya dalam keadaan lemah dari menjaga tempat-tempat yang suci, benar-benar akan mencegah para jama’ah haji dan pengunjung serta orang yang berumrah untuk mendatanginya. Maka lemahlah perekonomiannya, dan tersibukkan negeri Saudi Arabia dari kewajibannya yang suci yaitu melayani dua tempat suci (Makkah dan Madinah) melayani Islam dan kaum muslimin.

Kemudian mereka yang menuduh negeri itu dengan kedzaliman dan kedustaan, (bahwa negeri Saudi Arabia ) membina teroris, diri merekalah yang bergembira dengan perbuatan orang-orang bodoh pembunuh dari kalangan kaum Khawarij masa kini, maka lihatlah bagaimana mereka (orang kafir yang menuduh negeri Saudi Arabia membina teroris dan kaum Khawarij yang meledakkan Al-Haramain) bertemu dalam satu sasaran dan satu tujuan, walaupun tanpa sengaja ?!

Dan Maha benar Allah dimana Dia berfirman.:

“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah : “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”‌. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.”‌ [Al-Baqarah : 120]

Musuh-musuh Islam di timur dan barat tidak meridhai kecuali umat ini meninggalkan agamanya sebagaimana terkelupasnya ular dari kulitnya, baik pemerintah ataupun rakyatnya, dan (mereka menginginkan) umat Islam menyerupai negeri barat baik itu akidahnya, peradabannya, kebudayaannya dan akhlaknya.

Dan hal ini (umat Islam meninggalkan agamanya) “dengan izin Allah- tidak akan terjadi selama pada kita terdapat Kitabullah dan Sunnah nabi-Nya, dan selama pada kita terdapat ulama rabbani yang menyuruh berbuat baik dan melarang dari kemungkaran, berjihad dengan lisan mereka, jari-jemari mereka dan keterangan mereka, mereka benamkan setiap fitnah Khawarij dan ahli bid’ah yang sesat, dan mereka memperingatkan dari persengkokolan musuh-musuh Islam, menasehati para penguasa kaum muslimin dengan cara yang baik dan cara yang paling lurus, dengan kelembutan dan hikmah, agar mereka dapat membantu para penguasa melawan syaitan dan mereka tidak membantu syaitan melawan penguasa kaum muslimin, mereka (para ulama itu) akan mendo’akan penguasa kaum muslimin dengan kebaikan, dan tidak mendoakan penguasa dengan kejelekan dan kebinasaan.

Semoga Allah menjaga negeri Al-Haramain khususnya dan negeri-negeri Islam secara umum dari segala rencana-rencana jahat yang dilakukan oleh musuh-musuh kita yang nampak atau dari kalangan kaum muslimin yang bersembunyi di belakang Islam ““mereka menyangkanya- dan Allah benci dan berlepas diri dari mereka dan amal perbuatan mereka, dan Allah-lah meliputi mereka semuanya tiada sesembahan yang berhak disembah melainkan Dia dan tiada Rabb selain Dia.

[Majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Edisi No. 08/Th. II/1424H, 21-22.  dari http ://www.m-alnaser.com]
http://abusalma.wordpress.com/2007/04/14/apa-yang-mereka-dendamkan-terhadap-negeri-haramain/

Semoga bermanfaat....

-Sahabatmu-
Al Fawaid

FENOMENA TKI DI ARAB SAUDI
http://www.facebook.com/notes/al-fawaid/fenomena-tki-di-arab-saudi/10150340636595175